PEMBAHASAN
A. KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan Fiskal yang sering juga disebut “politik fiscal” atau “fiscal policy”, biasa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian melalui anggaran Negara. Nama lengkap anggaran belanja Negara kita ialah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang biasa hanya disingkat APBN.
Anggaran Pendapatan Dan Belanja (APBN)
APBN adalah suatu daftar atau penjelasan terperinci mengenai penerimaan dan pengeluaran negara dalam jangka waktu satu tahun yang ditetapkan dengan Undang-undang, serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
I. Fungsi APBN
1. Fungsi alokasi berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber penerimaan negara untuk membiayai belanja negara.
2. Fungsi distribusi Berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pemerataan kesejahteraan dapat terwujud jika pemanfaatan penerimaan negara dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
3. Fungsi stabilitas Berkaitan dengan pengaturan perekonomian nasional agar tetap seimbang, yaitu permintaan agregat (keseluruhan) sama dengan penawaran agregat. APBN bagi pemerintah sebagai instrumen pengendali perekonomian, baik dalam kondisi perekonomian yang stabil, depresi ataupun inflasi.
II. Tujuan penyusunan APBN
1. Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR dan rakyat
2. Meningkatkan koordinasi dalam lingkungan pemerintah
3. Membantu pemeritah mencapai tujuan kebijakan fiskal
4. Memungkinkan pemerintah memenuhi prioritas belanja negara
5. Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik.
III. Proses penyusunan APBN
Pemerintah (Presiden dibantu para menteri, terutama Menteri Keuangan) menyusun RABPN berdasarkan asumsi-asumsi, yaitu tentang :
1. Kondisi ekonomi makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB) menurut harga yang berlaku
2. Pertumbuhan ekonomi
3. Inflasi
4. Nilai tukar rupiah
5. Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan
6. Harga minyak internasional
7. Serta produksi minyak dalam negeri
Dalam menyusun RAPBN digunakan azas kemandirian, azas penghematan, azas penajaman prioritas pembangunan. RAPBN oleh pemerintah diajukan ke DPR dan dilakukan pembahasan dengan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang berkompeten sesuai bidang masing-masing. Jika telah disetujui, DPR akan mengesahkan RAPBN menjadi APBN. Hak DPR untuk menetapkan anggaran negara disebtut Hak Budget. Namun jika tidak ditemukan kesepakatan tentang RAPBN, DPR menetapkan APBN tahun lalu sebagai APBN tahun berjalan.
IV. STRUKTUR APBN :
A. Pendapatan Negara
Penerimaan Dalam Negeri
- Penerimaan Pajak, meliputi :
1. Pendapatan Pajak Dalam Negeri (PPh, PPN, PPnBM, PBB, BPHTB, Cukai, dan pajak lain).
2. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional
- Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), meliputi :
1. Penerimaan Sumber daya Alam
2. Pendapatan Bagian Laba BUMN
3. Pendapatan Negara Bukan Pajak lainnya
4. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU)
- Hibah
Adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan pihak swasta dalam negeri dan pemerintah daerah serta pihak swasta luar negeri dan pemerintah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali dan tidak mengikat, tidak secara terus-menerus, dan dialokasikan untuk kegiatan tertentu sesuai Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding).
B. Belanja Negara
- Belanja Pemerintah Pusat, meliputi :
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Belanja Bunga dan Pinjaman
5. Subsidi (subsidi energi dan subsidi nonenergi)
6. Belanja Hibah
7. Belanja Bantuan Sosial
8. Belanja lain-lain
- Transfer ke Daerah, meliputi :
1. Dana Perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus)
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
C. Surplus/Defisit Anggaran
a. Pembiayaan, terdiri :
- Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi :
1. Perbankan Dalam Negeri
2. Nonperbankan Dalam Negeri
- Pembiayaan Luar Negeri Netto, terdiri :
1. Penarikan pinjaman luar negeri bruto, (pinjaman program, Pinjaman proyek)
2. Penerusan pinjaman
3. Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri
PAJAK
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
• Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
• Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
• Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Jenis Pajak
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
Pajak Negara
• Pajak Penghasilan
• Pajak Pertambahan Nilai
• Pajak Penjualan Barang Mewah
• Pajak Bumi dan Bangunan
• Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
• Pajak Bea Masuk dan Cukai
Pajak Daerah
• Pajak Kendaraan bermotor
• Pajak Radio
Fungsi pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
• Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
• Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
• Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
• Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Teori pemungutan
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Kasus Penerimaan Pajak di Indonesia tahun 2005
Kembali ke tahun 2005, menurut data dari website Dirjen pajak, bahwa Target Penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas.
Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari:
• Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun
• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun
• Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun
• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5,06 triliun
• penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun, bea masuk Rp.17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar. Total penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005) sudah mencapai 1.040 triliun. Pajak A) Bedasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi : 1 Pajak langsung adalah pajak yang dibebanhkan secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan 2 Pajak tidak langsung adalah pajak / pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yangb secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya. B) Bedasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi : 1. Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroian terbatas / unit lain 2. Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan barang / jasa yang dikenakan kepada pembeli 3 Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya C) Pajak bedasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi: 1 Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak / pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan daerah sendiri 2. Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan / badan usaha lain yang modalnya / bagiannya terbagi atas saham – saham. 3 Pajak siluman adalah pungutan secara tidak resmi / pajak gelap dan merupakan sumber korupsi 4 Pajak tranist adalah pajak yang dipungut ditempat tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang / barang dari suatu tempat kertempat lain.
B. KEBIJAKAN MONETER
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Dan disinilah Bank Indonesia berperan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Tingkat suku bunga akan memengaruhi jumlah uang yang beredar Bila tingkat suku bunga rendah, masyarakat enggan menyimpan uangnya di bank. Oleh karena itu, jumlah uang yang beredar akan meningkat. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga tinggi, jumlah uang yang beredar menurun karena banyak orang yang menyimpan uangnya di bank.
C. EFEKTIFITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER
Kebijakan fiscal telah banyak kehilangan daya tariknya bagi pembuat kebijakan dan ahli Makroekonomi sebagai alat penstabil. Masalah kebijakan fiscal adalah bahwa lebih mudah untuk memotong pajak dari pada menaikkannya, dan lebih mudah untuk menaikkan pengeluaran dari pada untuk memotongnya. Dibandingkan kebijakan fiscal, kebijakan moneter beroperasi lebih tidak langsung pada perekonomian. Disaat perluasan kebijakan fiscal yang secara nyatamembeli barang atau jasa atau menempatkan pendapatan pada tangan konsumen atau perusahaan, kebijakan moneter mempengaruhi pengeluaran dengan cara mengubah suku bunga, kondisi kredit, nilai tukar, dan harga asset.
Merujuk pada kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, telah banyak pakar ekonomi dan ekonom Indonesia lainnya yang telah melakukan studi empiris, interpretasi dan analisis mengenai efektivitas kebijakan moneter terhadap parameterparameter makroekonomi yang mempengaruhi kondisi perekonomian di Indonesia. Pada umumnya, analisis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui suatu respon variabelvariabel makroekonomi terhadap kebijakan moneter di Indonesia dan menganalisis faktorfaktor yang dapat mempengaruhi perubahan kondisi perekonomian di Indonesia. Salah satu indikator yang juga berkaitan dengan efektivitas kebijakan moneter, yakni tingkat inflasi dan pengangguran di Indonesia.
Melihat jauh kebelakang mengenai tindak tanduk Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter dalam mengatur kebijakan upaya stabilisasi peredaran jumlah uang di masyarakat. Secara umum, kinerja dan upaya yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia, sudah menunjukkan perannya sebagai lembaga otoritas moneter dalam menetapkan kebijakan untuk perbaikan perekonomian di Indonesia. Walaupun banyak para pakar ekonomi dan pemerhati ekonomi di Indonesia mengatakan bahwa kebijakan moneter yang telah ditetapkan kurang mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat pengangguran dalam jangka pendek. Akan tetapi, geliat dan upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia telah menunjukkan fungsi dan perannya sebagai lembaga otoritas moneter dalam menetapkan kebijakan moneter untuk perbaikan dan kestabilan kondisi perekonomian di Indonesia, walaupun tujuan dan sasaran yang diharapkan dapat dicapai dalam periode jangka panjang. Oleh karena itu, untuk mencapai kondisi perekonomian yang stabil di Indonesia, peran serta semua pihak yang terkait perlu digalakkan. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia telah menjalankan fungsinya dengan menetapkan SBI sebagai instrumen kebijakan moneter, maka keberhasilan implementasi dan realisasi kebijakan yang telah ditetapkan juga bergantung pada oknum-oknum terkait dan kondisi di Indonesia sendiri. Efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap variabel-variabel makroekonomi, seperti masalah inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia perlu diperhatikan. Oleh karena itu, Bank Sentral diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam menstransmisikan sektor moneter ke sektor riil. Selain itu, Bank Sentral juga diharapkan tidak hanya terfokus pada pentargetan inflasi saja, namun perlu juga memperhatikan variabel makroekonomi lainnya, termasuk perubahan kondisi internal dan eksternal, sehingga diharapkan kebijakan yang diambil dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan perekonomian yang terjadi.
Di dalam menetapkan kebijakan moneter, Bank Sentral juga diharapkan dapat menerapkan kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan tenaga kerja dan tingkat usaha di Indonesia, mengingat faktor sumber daya manusia merupakan elemen penting dari suatu negara. Tingkat penganguran juga mengidentifikasi keadaan perekonomian suatu negara. Jika suatu negara menginginkan keadaan sumber daya manusianya yang makmur dan sejahtera, maka sudah sepatutnya negara tersebut juga harus memperhatikan keadaan dan kondisi sumber daya manusianya.
DAFTAR PUSTAKA
o Soediyono Reksoprayitno, Pengantar Ekonomi Makro edisi 6, BPFE-Yogyakarta : 2000
o Paul A. samuelson, William D. Nordhau. Ilmu Makro ekonomi, edisi tujubh belas, Media Global Edukasi
o http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/01/09/efektivitas-kebijakan-moneter-bank-indonesia-sebagai-penstabil-inflasi-dan-tingkat-pengangguran-di-indonesia/
o http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/01/09/efektivitas-kebijakan-moneter-bank-indonesia-sebagai-penstabil-inflasi-dan-tingkat-pengangguran-di-indonesia/
o http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
o http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak
o http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2056095-permintaan-uang-dan-penawaran-uang/
o http://www.babejoko.web.id/2010/10/04/anggaran-pendapatan-dan-belanja-negara.php
Sabtu, 30 Oktober 2010
Jumat, 29 Oktober 2010
"Ad-Dhararu Yuzalu" : Kemudharatan itu harus dihilangkan
“Ad-Dhararu Yuzalu”
“Kemudharatan itu harus dihilangkan”
A. Perbedaan Masyaqqot dengan Darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusi. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili, 1982:218)
B. Kaidah – kaidah yang berkenaan dengan kondisi Mudharat :
Kaidah Pertama :
“Kemudlaratan-kemudlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman” (Wahbah az-Zuhaili, 1982 : 225 )
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al-An’am :119)
Melihat ayat diatas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara krmatan atau harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsiniah. Karena itu terdapat kaidah :
“Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakruhan bagi kebutuhan.” (Abdul Hamid Hakim, 1956 :81)
“Apa yang diperbolehkan karena darurat maka diukur menurut kadar kemudlaratannya.” (as-Suyuthi, TT:60)
Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada empat, ialah : (1) Dirnya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat membahayakan nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya.
(2) Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya. Misalnya orang kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah berada dalam keadaan bahaya lapar yang gawat akibatnya.
(3) Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan perbuatan pelanggaran / kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan menempuh perbuatan yang mubah. Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli makanan yang halal, maka tidak benarkan makan makanan yang tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian.
(4) Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja (seminimal mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya).
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini DR. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu :
a. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seprti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya.
b. Hajah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya, makan makanan pokok seprti beras, ikan, sayur-mayur, lauk pauk, dan sebagainya.
d. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan (Wahbah az-Zuhali, 1982 : 246 – 247)
Contoh kaidah diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis, dan sebagainya.
Kaidah Kedua :
“Kemudharatn yang terjadi tidak dapat dianggap telah lama terjadinya”.
Kaidah ini adalah membatasi kaidah :
“Yang telah ada dari Tuhan tidak ditinggalkan atas kedahulunya”
Yakni bahwa manfaat dan kegunaan yang dihargai adalah yang tidak terdapat kemudharatan yang dilarang oleh syara’ yang apabila demikian halnya, haruslah kemudharatan itu dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan, berdasarkan telah ada sejak dulu.
Dari kaidah ini dapat diambil contoh, bahwa dibolehkan seorang guru yang berpenyakit darah tinggi untuk tidak mengajar, sebab meskipun dengan mengajar itu ada manfaat, namun disitu terdapat kemudharatan, baik terhadap murid maupun terhadap guru itu sendiri, seperti apabila guru itu baru naik darah kemudian memukul muridnya, demikian pula dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar gi si guru, misalnya karena mengajar itu, kambuh penyakitnya yang mengakibatkan kematian. Lantaran ini tidak bisa dibantah dengan alasan, bahwa sejak semula guru itu telah mengajar dan member manfaat kepada murid-muridnya.
Kaidah Ketiga :
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratannya”.
Dimana kebolehan tersebut hanya sekedar untuk menghilangkan kemudharatan yang sedang menimpa. Maka apabila kemudharatan atau suatu keadaan yang memaksa telah hilang, maka kebolehan terhadap yang didasarkan atas kemudharatan ini menjadi hilang pula, artinya perbuatan itu kembali ke-asal mulanya yakni telah dilarang.
Ringkasnya, bahwa darurat itu merupakan suatu keadaan yang dikecualikan. Maka kebolehan yang diberikan itu tentulah tidak mutlak, tetapi harus diukur dengan kadar yang diperlukan saja. Umpamanya bila boleh mencuri sepotong roti karena lapar, maka tidaklah boleh dia mencuri sekarung tepung. Maka karenanyalah orang yang makan bangkai karena lapar dibolehkan sekedar untuk perlu mempertahankan jiwa. Sedangkan Imam Malik membolehkan si yang lapar itu makan sampai kenyang bahkan boleh dijadikan bekalnya sampai dia menemukan yang lain.
Contoh lain, apabila seorang yang dalam keadaan kelaparan hanya diperkenankan makan daging binatang yang tanpa disembelih atau binatang yang diharamkan hanya sekedar menutup kelaparannya belaka, tidak boleh sampai berlebih-lebihan dan terus menerus. Sebab pada saat ia sudah kenyang pada saat itulah keadaan menjadi normal baginya dan karenanya alasan apapun untuk menghalalkan sudah tidak ada.
Kaidah Ke-Empat :
“Sesuatu yang diperbolehkan karena ‘udzur, batal lantaran hilangnya ‘udzur.
Kaidah ini memberika pengertian bahwa apabila kita melaksanakan suatui perbuatan tetapi perbuiatan itu akhirnya tidak bisa dilaksanakan disebabkan adanya ‘udzur yang menghalanginya. Maka pada saat itu kita diperbolehkan untuk melaksanakan perbuatan yang lain sebagai pengganti perbuatan yang tidak dapat kita laksanakan tersebut. Tetapi setelah ‘udzur (penghalang) itu hilang maka perbuatan pengganti tersebut juga dianggap hilang.
Misalnya : seseorang yang ingin berwudhu ia tidak bisa menemukan air untuk menjalankan shalat. Maka orang ini diperbolehkan untuk tayamum. Tetapi sebelum masuk shalat ia diberi tahu oleh temannya bahwa ditempat tertentu ada air, maka dalam keadaan seperti ini tayamum orang tersebut dianggap batal, lantaran diketemukan air sebelum masuk waktu sembahyang.
Kaidah Kelima :
“Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”
Redaksi kaidah ini menjelaskan apabila dalam suatu perkara terlihat adanya manfaat atau maslahat, namun disitu juga terdapat kemafsadatan (kerusakan), haruslah haruslah didahulukan menghilangkan mafsadatnya ini, sebab kemafsadatan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Oleh karena itu diharamkan judi, minum-minuman yang memabukkan (Khamar). Meskipun pada keduanya terdapat kemanfaatan, namun bahaya kerusakannya lebih besar. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Mereka bertanya kepadamu tttentang khamar dan judi, katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat (yang sedikit) bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya”.
Untuk itulah menyangatkan berkumur-kumur dan beristinyaq di waktu wudhu adalah sunnah, tetapi bagi orang yang sedang berpuasa adalah makruh, sebab dapat merasakan atau membatalkan puasa.
Begitu pula apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan pada perbuatan, dengan kata lain jika suatu perbuatan ditinjau dari satu segi terlaang karena mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan lebih kuat dari pada perintah menjalankan kebaikan, sesuai dengan sabda Nabi SAW :
“Apabila akau memerintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarang kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikianlah disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah, sedang dalam meninggalkan larangan di-isyaratkan demikian, ini menunjukkan bahwa tuntutan meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan menjalankan perintah.
Berdasarkan kaidah ini pulalah, Syeikh Muhammad Abduh berpendapat, bahwa poligami dapat dilarang. Manakala dengan poligami itu akan menimbulkan kerusakan. Seperti kehancuran dan berantakan nya rumah tangga apabila seorang suami tidak mampu bersifat adil kepada istri-istrinya, yang akhirnya dapat menelantarkan anak-anaknya.
Kaidah Keenam :
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada Madhatan.
Maksud kaidah ini, manakal pada suatu ketika datang bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakala antara mafsadat itu yang lebih kecil atau lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan kerjakan yang lebih kecil atau lebih ringan mudharatnya. Biarpun sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus dihindarkan. Sesuai dengan firman Tuhan dalam surat Al-A’raf :56, sebagai berikut :
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. (QS. Al-A’raf : 56)
Kaidah Ketujuh :
“Apabila saling bertentangan ketentuan hukum, maka didahulukanlah yang an dilakukan waktunnya sempit dari pada yang longgar dan dilakukan yang mengehendaki segera daripada yang boleh ditunda”.
Kaidah ini terletak pada waktu pelaksanaannya terbatas (sempit) dan mana pula yang waktu pelaksanaannya luas, sehingga denga dipilihnya waktu yang sesuai tersebut tidak akan membawa mudharat kepada kita.
Contoh, Apabila ada seseorang yang diwaktu bulan ramadhan bernadzar akan puasa, haruslah puasa bulan ramadhan dikerjakan bulan ramadhan tersebut.
Kaidah Kedelapan :
“Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan, maka harus diperhatikan mana yang lebih kuat diantara keduanya”
Contoh, Bahwa bohong itu adalah sifat tercela lagi berdosa. Tetpi apabila bohong tersebut dilakukan bertujuan untuk mendamaikan pertengkaran antar seseorang dengan kawan-kawannya atau antara suami dan istri, maka diperbolehkannya.
Kaidah Kesembilan :
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”
Misalnya, seseorang yang dalam kelaparan, dan dia akan mati jika ia tidak makan, maka jalan satu-satunya dalah mencuri . karena tindakannya ini maka ia wajib mengembalikan atau mengganti makanan orang lain yang telah dimakannya.
Kaidah Kesepuluh :
“Apabila saling bertentangan ketentuan hukum yang mencegah dengan yang dikehendaki pelaksanaan sustu perbuatan, niscaya didahulukan yang mencegahnya”.
Sebagai contoh :dalam suatu sengketa yang terjadi karena seorang menjual suatu benda yang disewakan tanpa seizing penyewa yang oleh karenanya jual beli ini hanya berlaku pada pihak penjual dan pembeli saja, tidak dapat berlaku pada pihak penyewa, artinya pembeli tidak boleh minta begitu saja agar penyewa menyerahkan benda tersebut, sebelum habis masa sewanya.
Kaidah Kesebelas :
“Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu bersifat umum atau khusus.”
Menurut kaidah ini kejahatan yang mendesak dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan tersebut bersifat umum.
Kaidah Ke-dua belas :
“Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan kemudaharatan yang lebih ringan”
Seperti wajibnya si kaya untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada sifakir, sebab pada hakikatnya kemadlaratan yang dijumpai oleh sikaya dengan menafkahkan sebagian hatanya, lebih ringan daripada si fakir yang tidak mempunyai sama sekali.
Kaidah Ke-Tiga Belas
”Kemadlaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemadlaratan yang sebanding”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang membawa kemadlaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan suatu perbuatan yang mendatang kemdlaratan lain yang sebanding. Sebab apabila demikian halnya, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sia-sia belaka.
Contoh, bahwa tidak boleh bagi seseorang yang sedang dalam kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan, apabila makananyna hilang. Begitu pula, bagi seorang dokter dilarang mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami kekurangan darah.
Kaidah Ke-Empat belas
“Kemudlaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemdlaratan yang lain”.
Kaidah ini sebenernya mempunyai kesamaan dengan kaidah diatas, yaitu sama-samna keduanya adalah menunjukkan adanya larangan menghindarkan kemadlaratan yang satu tapiu mendatangkan kemadlaratan yang lainnya.
Dari kaidah ini dapat diambil sebuah contoh dua orang yang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpanginyya pecah. Salah satu dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan sampai ada tim penolong datang. Tetapi juga kawanya uang juga ingin sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dank arena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia hatrus mengorbanka kawanya yang sudah berada di atas papan. Maka tindakan orang yang merebut karana darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syari’at.
Kaidah Ke-Lima belas
”Kemudlaratan itu harus dihindarkan sedapat mungkin”
Maksud dari nkaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemadlaratan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan uasah-usaha perventif agar jangan terjadi suatu kemadlaratan, dengan segala daya upaya yang mungkin dapat diusahakan. Maksud yang demikian ini sesuai dengan maksud dalil-dalil mashlahah mursalah, yang dikenal dikalangan ulama Ushul dan banyak digunakan fiqh Siyasah.
Dari kaidah ini dapat diambil contoh tindakan-tindakan hukum diantaranya, yaitu tindakan Umar bin Khattab dengan membakar kedai arak, agar jangan sampai terjadi kemadlaratan-kemadlaratan yang lebih besar.
Begitu juga dengan usaha Abu Bakar untuk mengadakan penulisan al-Quran agar jangan samapai ada yang hilang atau terlupakan. Demikian pula tidakan Usman bin Affan dalam usahanya mengumpulkan al-Quran dalam mushaf
Dalam pelayaran dengan kapal laut, di mana kapal demikian olengnya dan besar kemjungkinan akan tenggelam apabila semua barang yang ada didalamnya tidak dibuang kelaut. Dalam keadaan semacam itu diperbolehkan membuang barang kelaut meskipun tidak seizin yang empunya demi kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka.
“Kemudharatan itu harus dihilangkan”
A. Perbedaan Masyaqqot dengan Darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusi. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili, 1982:218)
B. Kaidah – kaidah yang berkenaan dengan kondisi Mudharat :
Kaidah Pertama :
“Kemudlaratan-kemudlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman” (Wahbah az-Zuhaili, 1982 : 225 )
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al-An’am :119)
Melihat ayat diatas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara krmatan atau harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsiniah. Karena itu terdapat kaidah :
“Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakruhan bagi kebutuhan.” (Abdul Hamid Hakim, 1956 :81)
“Apa yang diperbolehkan karena darurat maka diukur menurut kadar kemudlaratannya.” (as-Suyuthi, TT:60)
Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada empat, ialah : (1) Dirnya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat membahayakan nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya.
(2) Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya. Misalnya orang kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah berada dalam keadaan bahaya lapar yang gawat akibatnya.
(3) Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan perbuatan pelanggaran / kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan menempuh perbuatan yang mubah. Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli makanan yang halal, maka tidak benarkan makan makanan yang tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian.
(4) Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja (seminimal mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya).
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini DR. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu :
a. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seprti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya.
b. Hajah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya, makan makanan pokok seprti beras, ikan, sayur-mayur, lauk pauk, dan sebagainya.
d. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan (Wahbah az-Zuhali, 1982 : 246 – 247)
Contoh kaidah diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis, dan sebagainya.
Kaidah Kedua :
“Kemudharatn yang terjadi tidak dapat dianggap telah lama terjadinya”.
Kaidah ini adalah membatasi kaidah :
“Yang telah ada dari Tuhan tidak ditinggalkan atas kedahulunya”
Yakni bahwa manfaat dan kegunaan yang dihargai adalah yang tidak terdapat kemudharatan yang dilarang oleh syara’ yang apabila demikian halnya, haruslah kemudharatan itu dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan, berdasarkan telah ada sejak dulu.
Dari kaidah ini dapat diambil contoh, bahwa dibolehkan seorang guru yang berpenyakit darah tinggi untuk tidak mengajar, sebab meskipun dengan mengajar itu ada manfaat, namun disitu terdapat kemudharatan, baik terhadap murid maupun terhadap guru itu sendiri, seperti apabila guru itu baru naik darah kemudian memukul muridnya, demikian pula dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar gi si guru, misalnya karena mengajar itu, kambuh penyakitnya yang mengakibatkan kematian. Lantaran ini tidak bisa dibantah dengan alasan, bahwa sejak semula guru itu telah mengajar dan member manfaat kepada murid-muridnya.
Kaidah Ketiga :
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratannya”.
Dimana kebolehan tersebut hanya sekedar untuk menghilangkan kemudharatan yang sedang menimpa. Maka apabila kemudharatan atau suatu keadaan yang memaksa telah hilang, maka kebolehan terhadap yang didasarkan atas kemudharatan ini menjadi hilang pula, artinya perbuatan itu kembali ke-asal mulanya yakni telah dilarang.
Ringkasnya, bahwa darurat itu merupakan suatu keadaan yang dikecualikan. Maka kebolehan yang diberikan itu tentulah tidak mutlak, tetapi harus diukur dengan kadar yang diperlukan saja. Umpamanya bila boleh mencuri sepotong roti karena lapar, maka tidaklah boleh dia mencuri sekarung tepung. Maka karenanyalah orang yang makan bangkai karena lapar dibolehkan sekedar untuk perlu mempertahankan jiwa. Sedangkan Imam Malik membolehkan si yang lapar itu makan sampai kenyang bahkan boleh dijadikan bekalnya sampai dia menemukan yang lain.
Contoh lain, apabila seorang yang dalam keadaan kelaparan hanya diperkenankan makan daging binatang yang tanpa disembelih atau binatang yang diharamkan hanya sekedar menutup kelaparannya belaka, tidak boleh sampai berlebih-lebihan dan terus menerus. Sebab pada saat ia sudah kenyang pada saat itulah keadaan menjadi normal baginya dan karenanya alasan apapun untuk menghalalkan sudah tidak ada.
Kaidah Ke-Empat :
“Sesuatu yang diperbolehkan karena ‘udzur, batal lantaran hilangnya ‘udzur.
Kaidah ini memberika pengertian bahwa apabila kita melaksanakan suatui perbuatan tetapi perbuiatan itu akhirnya tidak bisa dilaksanakan disebabkan adanya ‘udzur yang menghalanginya. Maka pada saat itu kita diperbolehkan untuk melaksanakan perbuatan yang lain sebagai pengganti perbuatan yang tidak dapat kita laksanakan tersebut. Tetapi setelah ‘udzur (penghalang) itu hilang maka perbuatan pengganti tersebut juga dianggap hilang.
Misalnya : seseorang yang ingin berwudhu ia tidak bisa menemukan air untuk menjalankan shalat. Maka orang ini diperbolehkan untuk tayamum. Tetapi sebelum masuk shalat ia diberi tahu oleh temannya bahwa ditempat tertentu ada air, maka dalam keadaan seperti ini tayamum orang tersebut dianggap batal, lantaran diketemukan air sebelum masuk waktu sembahyang.
Kaidah Kelima :
“Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”
Redaksi kaidah ini menjelaskan apabila dalam suatu perkara terlihat adanya manfaat atau maslahat, namun disitu juga terdapat kemafsadatan (kerusakan), haruslah haruslah didahulukan menghilangkan mafsadatnya ini, sebab kemafsadatan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Oleh karena itu diharamkan judi, minum-minuman yang memabukkan (Khamar). Meskipun pada keduanya terdapat kemanfaatan, namun bahaya kerusakannya lebih besar. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Mereka bertanya kepadamu tttentang khamar dan judi, katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat (yang sedikit) bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya”.
Untuk itulah menyangatkan berkumur-kumur dan beristinyaq di waktu wudhu adalah sunnah, tetapi bagi orang yang sedang berpuasa adalah makruh, sebab dapat merasakan atau membatalkan puasa.
Begitu pula apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan pada perbuatan, dengan kata lain jika suatu perbuatan ditinjau dari satu segi terlaang karena mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan lebih kuat dari pada perintah menjalankan kebaikan, sesuai dengan sabda Nabi SAW :
“Apabila akau memerintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarang kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikianlah disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah, sedang dalam meninggalkan larangan di-isyaratkan demikian, ini menunjukkan bahwa tuntutan meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan menjalankan perintah.
Berdasarkan kaidah ini pulalah, Syeikh Muhammad Abduh berpendapat, bahwa poligami dapat dilarang. Manakala dengan poligami itu akan menimbulkan kerusakan. Seperti kehancuran dan berantakan nya rumah tangga apabila seorang suami tidak mampu bersifat adil kepada istri-istrinya, yang akhirnya dapat menelantarkan anak-anaknya.
Kaidah Keenam :
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada Madhatan.
Maksud kaidah ini, manakal pada suatu ketika datang bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakala antara mafsadat itu yang lebih kecil atau lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan kerjakan yang lebih kecil atau lebih ringan mudharatnya. Biarpun sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus dihindarkan. Sesuai dengan firman Tuhan dalam surat Al-A’raf :56, sebagai berikut :
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. (QS. Al-A’raf : 56)
Kaidah Ketujuh :
“Apabila saling bertentangan ketentuan hukum, maka didahulukanlah yang an dilakukan waktunnya sempit dari pada yang longgar dan dilakukan yang mengehendaki segera daripada yang boleh ditunda”.
Kaidah ini terletak pada waktu pelaksanaannya terbatas (sempit) dan mana pula yang waktu pelaksanaannya luas, sehingga denga dipilihnya waktu yang sesuai tersebut tidak akan membawa mudharat kepada kita.
Contoh, Apabila ada seseorang yang diwaktu bulan ramadhan bernadzar akan puasa, haruslah puasa bulan ramadhan dikerjakan bulan ramadhan tersebut.
Kaidah Kedelapan :
“Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan, maka harus diperhatikan mana yang lebih kuat diantara keduanya”
Contoh, Bahwa bohong itu adalah sifat tercela lagi berdosa. Tetpi apabila bohong tersebut dilakukan bertujuan untuk mendamaikan pertengkaran antar seseorang dengan kawan-kawannya atau antara suami dan istri, maka diperbolehkannya.
Kaidah Kesembilan :
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”
Misalnya, seseorang yang dalam kelaparan, dan dia akan mati jika ia tidak makan, maka jalan satu-satunya dalah mencuri . karena tindakannya ini maka ia wajib mengembalikan atau mengganti makanan orang lain yang telah dimakannya.
Kaidah Kesepuluh :
“Apabila saling bertentangan ketentuan hukum yang mencegah dengan yang dikehendaki pelaksanaan sustu perbuatan, niscaya didahulukan yang mencegahnya”.
Sebagai contoh :dalam suatu sengketa yang terjadi karena seorang menjual suatu benda yang disewakan tanpa seizing penyewa yang oleh karenanya jual beli ini hanya berlaku pada pihak penjual dan pembeli saja, tidak dapat berlaku pada pihak penyewa, artinya pembeli tidak boleh minta begitu saja agar penyewa menyerahkan benda tersebut, sebelum habis masa sewanya.
Kaidah Kesebelas :
“Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu bersifat umum atau khusus.”
Menurut kaidah ini kejahatan yang mendesak dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan tersebut bersifat umum.
Kaidah Ke-dua belas :
“Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan kemudaharatan yang lebih ringan”
Seperti wajibnya si kaya untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada sifakir, sebab pada hakikatnya kemadlaratan yang dijumpai oleh sikaya dengan menafkahkan sebagian hatanya, lebih ringan daripada si fakir yang tidak mempunyai sama sekali.
Kaidah Ke-Tiga Belas
”Kemadlaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemadlaratan yang sebanding”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang membawa kemadlaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan suatu perbuatan yang mendatang kemdlaratan lain yang sebanding. Sebab apabila demikian halnya, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sia-sia belaka.
Contoh, bahwa tidak boleh bagi seseorang yang sedang dalam kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan, apabila makananyna hilang. Begitu pula, bagi seorang dokter dilarang mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami kekurangan darah.
Kaidah Ke-Empat belas
“Kemudlaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemdlaratan yang lain”.
Kaidah ini sebenernya mempunyai kesamaan dengan kaidah diatas, yaitu sama-samna keduanya adalah menunjukkan adanya larangan menghindarkan kemadlaratan yang satu tapiu mendatangkan kemadlaratan yang lainnya.
Dari kaidah ini dapat diambil sebuah contoh dua orang yang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpanginyya pecah. Salah satu dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan sampai ada tim penolong datang. Tetapi juga kawanya uang juga ingin sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dank arena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia hatrus mengorbanka kawanya yang sudah berada di atas papan. Maka tindakan orang yang merebut karana darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syari’at.
Kaidah Ke-Lima belas
”Kemudlaratan itu harus dihindarkan sedapat mungkin”
Maksud dari nkaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemadlaratan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan uasah-usaha perventif agar jangan terjadi suatu kemadlaratan, dengan segala daya upaya yang mungkin dapat diusahakan. Maksud yang demikian ini sesuai dengan maksud dalil-dalil mashlahah mursalah, yang dikenal dikalangan ulama Ushul dan banyak digunakan fiqh Siyasah.
Dari kaidah ini dapat diambil contoh tindakan-tindakan hukum diantaranya, yaitu tindakan Umar bin Khattab dengan membakar kedai arak, agar jangan sampai terjadi kemadlaratan-kemadlaratan yang lebih besar.
Begitu juga dengan usaha Abu Bakar untuk mengadakan penulisan al-Quran agar jangan samapai ada yang hilang atau terlupakan. Demikian pula tidakan Usman bin Affan dalam usahanya mengumpulkan al-Quran dalam mushaf
Dalam pelayaran dengan kapal laut, di mana kapal demikian olengnya dan besar kemjungkinan akan tenggelam apabila semua barang yang ada didalamnya tidak dibuang kelaut. Dalam keadaan semacam itu diperbolehkan membuang barang kelaut meskipun tidak seizin yang empunya demi kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka.
Tugas Manajemen Keuangan
Soal :
Haikal kredit sepeda motor di FIF, harga awal dari sepeda motor tersebut Rp.10.000.000,- (Po) dengan bunga 5% pertahun (i).
Jika n 10 tahun, Berapa : a. FV ?
b. R pertahun ?
Jawaban :
Po = 10.000.000
i = 5% = 0,05
n = 10 tahun
a. FVn = Po [ 1 + (i) (n) ]
= 10.000.000 [ 1 + (0,05) (10) ]
= 10.000.000 (1,5)
= 15.000.000
b. FV = R ( 1 + i ) n - 1
i
15.000.000 = R (1 + 0,05)10 – 1
0,05
15.000.000 = R (1,05)10 – 1
0,05
15.000.000 = R 1,63 – 1
0,05
15.000.000 = R 12,6
R 12,6 = 15.000.000
R = 15.000.000
12,6
= 1190476,19
Haikal kredit sepeda motor di FIF, harga awal dari sepeda motor tersebut Rp.10.000.000,- (Po) dengan bunga 5% pertahun (i).
Jika n 10 tahun, Berapa : a. FV ?
b. R pertahun ?
Jawaban :
Po = 10.000.000
i = 5% = 0,05
n = 10 tahun
a. FVn = Po [ 1 + (i) (n) ]
= 10.000.000 [ 1 + (0,05) (10) ]
= 10.000.000 (1,5)
= 15.000.000
b. FV = R ( 1 + i ) n - 1
i
15.000.000 = R (1 + 0,05)10 – 1
0,05
15.000.000 = R (1,05)10 – 1
0,05
15.000.000 = R 1,63 – 1
0,05
15.000.000 = R 12,6
R 12,6 = 15.000.000
R = 15.000.000
12,6
= 1190476,19
Jurnal “Peran Zakat bagi Kondusifnya suatu Perekonomian dalam mensejahterakan Masyarakat sebagai Alternatif Pajak"
Penelitian Tentang “Peran Zakat Bagi Kondusifnya Suatu Perekonomian dalam Mensejahterakan Masyarakat Sebagai Alternatif Pajak”
ABSTRAK
Penelitian tentang zakat ini dirasa perlu kami lakukan, mengingat bertambahnya kemiskinan dan pengangguran akibat dampak dari krisis global. Penelitian tentang sistem dan tata cara pelaksanaan serta persayaratannya sangat penting kita analisis, karena sangat menentukan ke-efektifan penerapan system zakat sebagai alternative pajak. Hasil dari penelitian studi dirangkum kedalam jurnal ini yang pemaparannya menjelaskan tentang definisi, studi kasus, perbandingan, penerapannya. Dan penelitian ini dengan menggunakan data kepustakaan dari buku, dan dari data itu kita rangkum dan kita ambil yang sekiranya sesuai dengan pembahasannya. Dan mengambil sekilas dari kutipan artikel para penulis, kemudian kami menggunakan pendekatan deskriptif untuk memaparkan dari pendapat penulis.
PENDAHULUAN
Pajak ialah iuran dari rakyat / penduduk kepada kas Negara. Atau dengan kata lain; peralihan sebagian kecil hasil kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang. Pajak telah berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Salah satu pembiayaan Negara yang penting dalam hal ini adalah pembangunan sosial kemanusiaan, selain pembiayaan lainnya. Sesuai amanat konstiusi dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2, bahwa Negara harus memberikan jaminan yang adil kepada rakyat dengan menggunakan uang pajak. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menembah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Sedangkan pengertian dari zakat ialah kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan syarat tertentu. zakat merupakan sarana bagi umat Islam untuk membersihkan diri dari kekotoran kekikiran terutama harta benda. Dan merupakan kewajiban yang telah ditentukan standarnya, apa saja harta benda yang dimiliki yang berhak untuk dikeluarkan zakatnya, kepada siapa dan sudah berapa lama harta itu dimiliki sehingga zakatnya menjadi wajib hukumnya dikeluarkan. Zakat bukan hanya sekedar kewajiban yang mengandung nilai teologis, tetapi juga kewajiban finansial yang mengandung nilai sosial yang tinggi. Persoalan ini, tidak lepas juga dari pamahaman umat (yang wajib zakat) terhadap makna subsansi zakat. Zakat hanya sebagai suatu kewajiban agama (teologis) untuk membersihkan harta milik dari kekotoran. Zakat memainkan peran penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumen. Dengan zakat distibusi lancar dan kekayaan tidak melingkar di sekitar golongan elit (konglomerat).
TINJAUAN LITERATUR
Di antara problematika krusial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika per Maret 2008, terlepas dari kontroversi yang timbul dari data tersebut, tingkat kemiskinan di Indonesia berkisar pada angka 34,96 juta jiwa. Namun demikian, setelah harga BBM dinaikkan pada bulan Mei 2008, angka tersebut diprediksikan naik sebesar 8,5 persen. Belum ada data pasti bagaimana dampak terhadap kemiskinan setelah harga bensin premium diturunkan Rp 500. Sementara itu, World Bank dalam laporannya pada tahun 2007 menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 108,7 juta jiwa, atau 49 persen dari jumlah penduduk di tanah air.
Munculnya perbedaan pada kedua lembaga tersebut dikarenakan adanya perbedaan pendekatan dan kriteria yang digunakan. BPS menggunakan standar 2100 kilo kalori sebagai ukuran kemiskinan, atau senilai pendapatan per kapita Rp 152.847 per bulan. Artinya, seseorang dikatakan sebagai miskin apabila berpendapatan di bawah angka tersebut. Sedangkan World Bank menggunakan standar pendapatan per kapita USD 2 per hari, dimana angka ini disebut juga sebagai angka kemiskinan absolut. Maknanya, hampir separuh penduduk Indonesia berpendapatan di bawah USD 2 per hari.
Sementara itu, pengangguran juga menjadi masalah krusial yang belum terpecahkan dengan baik. Meski mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 1,1 juta orang, pengangguran terbuka di tanah air berdasarkan data BPS per Februari 2008 mencapai 9,4 juta orang, atau 8,5 persen dari total angkatan kerja. Dari angka ini, 4,5 juta orang di antaranya adalah lulusan SMA/SMK/diploma dan universitas.
Pengangguran menurut BPS didefinisikan sebagai orang yang bekerja kurang dari 1 jam setiap minggunya. Jika seseorang bekerja lebih dari 1 jam setiap minggu, meskipun pendapatannya tidak mencukupi, namun ia tidak bisa dikatakan sebagai pengangguran. Kriteria ini kemudian mengundang kritikan sejumlah pakar karena negara-negara lain, terutama negara maju, pada umumnya menggunakan standar kerja sekurang-kurangnya 15 jam per minggu sebagai syarat minimal agar tidak dikategorikan sebagai pengangguran.
Klaim bahwa pertumbuhan ekonomi mampu mengurangi pengangguran juga tidak sepenuhnya tepat. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didominasi oleh sektor-sektor non tradable dalam perekonomian (sektor jasa, seperti telekomunikasi) yang bersifat padat modal dan kurang menyerap tenaga kerja, bila dibandingkan dengan sektor tradable yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti pertanian dan manufaktur. Pada tahun 2007 lalu misalnya, sektor telekomunikasi tumbuh 20 persen, jauh melebihi pertanian dan manufaktur yang masing-masing tumbuh sebesar 2-3 persen dan 4-5 persen.
Daya beli masyarakat pun mengalami penurunan. Sebagai contoh, berdasarkan kajian Tim Indonesia Bangkit, upah riil petani pada tahun 2007 mengalami penurunan sekitar 0,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian pula dengan upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan tukang potong rambut, mengalami penurunan masing-masing sebesar 2 persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. Masih dalam periode yang sama, upah riil buruh industri mengalami penurunan sebesar 1,2 persen. Menurunnya upah riil kelompok rakyat kecil tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tahun lalu sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas. Sementara orang-orang miskin tetap terpuruk dan mengalami ketidakberdayaan.
Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran ini juga sepertinya belum akan menunjukkan tren penurunan. Hal ini disebabkan, selain oleh faktor domestik, juga oleh faktor eksternal yang dampaknya sangat terasa, yaitu krisis keuangan global. Hingga saat ini, krisis keuangan global belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, meski beberapa negara besar dunia telah membuat sejumlah rencana penyelamatan, seperti AS dengan bail out plan senilai USD 700 milyar, dan juga China dengan paket stimulus senilai USD 586 milyar. Kondisi perekonomian global ini juga telah membuat PM Inggris Gordon Brown untuk mendesak para pemimpin dunia untuk mau merubah arsitektur sistem keuangan global yang ada sekarang.
Di tengah situasi seperti ini, maka Indonesia perlu mencari sejumlah formula kebijakan baru yang dapat membantu mempercepat upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Apalagi K.A. Ishak dari Oregon University AS pada tahun 2003 mempublikasikan hasil riset yang menunjukkan kegagalan lembaga-lembaga pembangunan internasional di dalam mengurangi kemiskinan global. Sehingga, ia pun merekomendasikan perlunya mengadopsi strategi baru dalam memerangi kemiskinan global. Dalam riset itu pula, Ishak menegaskan bahwa zakat harus dioptimalkan mengingat ia adalah instrumen yang secara tradisional dan kultural dekat dengan kehidupan masyarakat Timteng dan Afrika Utara. Karena itu, bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, optimalisasi instrumen ZIS merupakan kebutuhan yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.
METODE PENELITIAN
Sumber penelitian kepustakaan ini mengambil dari beberapa buku tentang perpajakan dan zakat. Dan sebagian lain mengutip dari artikel penulis dari beberapa website. Analisis jumlah kemiskinan mengambil data dari website Badan Pusat Statistik. Kemudian kita paparkan data tersebut dan kita hubungkan dengan fungsi dari zakat.. Serta kami mengambil beberapa pendapat dari para pakar ekonomi yang ditulis dalam bentuk artikel, kemudian dari cuplikan itu kami kutip dan paparkan, kemudian kami bandingkan atau gabungkan dengan pendapat lain baik dari buku maupun dari artikel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Pasca krisis, jumlah penduduk miskin Indonesia masih besar dan tersebar luas. Di tahun 2004 BPS memperkirakan jumlah orang miskin adalah 36,1 juta orang atau 16,6% dari total penduduk. Pada saat yang sama perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa angka kemiskinan tahun 2004 hanya 7,4% dengan garis kemiskinan US$1 sehari, maka jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4% atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini ekuivalen dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.
Sementara itu angka pengangguran juga menunjukkan angka yang sangat tinggi. Mengacu pada data Badan Pusat Statiska (Sakernas) pada tahun 2000, jumlah pengangguran setengah terbuka mencapai sekitar 30 juta jiwa. Angka ini tidak banyak mengalami perubahan walaupun ada trend penurunan, yaitu sekitar 28,8 juta pengangguran pada tahun 2002, dan pada tahun 2004 masih di kisaran 28 juta jiwa (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di kota dan di desa, antara lain sebagai berikut:
TAHUN KOTA DESA TOTAL
2000 12,30 26,40 38,70
2001 8,60 29,30 37,90
2002 13,30 25,10 38,40
2003 12,20 25,10 37,30
2004 11,40 24,80 36,10
2005 12,40 22,70 35,10
2006 14,49 24,81 39,30
2007 13,56 23,61 37,17
Sumber BPS, 2007
Menurut SUSENAS, bahwa anak putus sekolah berjumlah 7,5 juta dan gizi buruk balita 27,5 persen. Sementara itu, UNICEF mencatat gizi buruk sebanyak 40 persen dan busung lapar 8 persen = 1,6 juta jiwa.
Lemahnya usaha memerangi kemiskinan di era otonomi daerah juga dikonfirmasi oleh berbagai studi empiris. Studi jasmina et. Al (2001) menunjukkan bahwa baru 268 daerah yang telah menerapkan kebijakan pembelanjaan anggaran yang bersifat pro-poor (berpihak pada orang miskin). Sementara itu studi Sumarto et. Al (2002) menunjukkan bahwa tata kelola pemerintah yang semakin memburuk di era otonomi daerah, secara nyata dan sistematik telah menghambat upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan structural. Artinya, kemiskinan yang ada tidak hanya disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan terutama disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model saat ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok the have kepada the poor. Diperlukan sebuah sistem yang mampu menciptakan Keadilan di mana kemandirian ekonomi dapat menciptakan peluang kerja yang mampu menggerakkan sector riil sehingga secara otomatis kemiskinan juga dapat teratasi.
Pengembangan sekotr riil menjadi agenda yang sangat penting, mengingat hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan produktivitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sector riil-nya di dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Menurut aturan islam, mekanisme peran pemerintah dalam menggerakkan sector riil dalam upayanya melindungi masyarakat miskin di implementasikan dalam kebijakan dengan zakat sebagai sebagai instrument utama. Sejarah membuktikan Zakat sebagai sebuah sistem fiscal mampu menjaga kestabilan perekonomian, dapat melindungi si lemah dari ketidakadilan jalannya sistem perekonomian (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Bandingkan dengan hasil sensus penduduk yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik pada bulan Mei 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.556.363 jiwa.
Jumlah total penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 1,51 juta. Dan jika kita perbandingkan dengan tahun 2010
Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih banyak daripada daerah
perdesaan. Selama periode Maret 2009 - Maret 2010, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2010 persentase adalah sebesar 64,23 persen.11
Pembahasan
Kemiskinan disebabkan karena tidak meratanya distribusi pendapatan. Pendistribusian pendapatan dikatakan sempurna (merata) bila 20% keluarga paling miskin menikmati 20% pendapatan nasional. 20% kelompok keluarga berikutnya juga menukmati 20% pendapatan nasional. Dengan demikian 40% kelompok keluarga menikmati pendapatan nasional. Begitu seterusnya sehingga total akumulasi 100% keluarga menikmati 100% pendapatan nasional. Yang jadi permasalahan sekarang adalah “Bagaimana cara menghitung pendapatan nasional menurut teori konvensional” apakah sudah mencakup semua aspek?
Jika melihat sistem ekonomi konvensional, pendapatan nasional dapat dirumuskan dengan persamaan Y=C+I+G+(X-M) dimana Y=pendapatan nasional, C=konsumsi, I=investasi, G=pengeluaran pemerintah (government expenditure) dan (X-M) adalah jumlah ekspor bersih atau ekspor (X) dikurangi impor (M). Dari persamaan ini para pengamat ekonomi mensinyalir akan adanya kebuntuan fiskal karena diluar pengeluaran pemerintah, sektor konsumsi, investasi dan ekspor bersih pada saat ini tidak dapat diandalkan dalam meningkatkan pendapatan nasional. Sementara pengeluaran pemerintah melalui APBN pun masih sulit untuk memperbaiki krisis ekonomi, meskipun bisa dilakukan upaya perbesaran defisit anggaran. Melihat hal ini, Zakat memiliki peluang dalam membantu sektor fiskal memulihkan ekonomi.
Sedangkan cara menghitung pendapatan menurut Islam bisa dilihat melalui seberapa besarkah pendistribusian zakat, karena pendistribusian zakat tepat pada sasarannya. Yaitu pada 8 golongan antara lain ; Orang fakir, orang miskin, ‘Amil zakat, mu’allaf, budak, Fi Sabilillah, Ibnu sabil. Seberapa meratakah distribusi pendapatan, bisa dengan mengetahui seberapa besarkah zakat didistribusikan kepada 8 golongan tersebut, sehingga dari sini kita bisa mengetahui seberapa meratakah distribusi pendapat.
Karena didalam zakat terdapat ketentuan bahwa ia bersifat tetap dan terus-menerus, ia tetap eksis selama eksisnya agama islam dan umatnya. Tidak ada pihak atau seseorang, misalnya penguasa dapat menghapus zakat, sebab zakat memiliki posisi seperti shalat, ia bersifat abadi hingga akhir zaman. Jadi seandainya pendapatan negara pada suatu sa’at berkurang, bantuannya kepada masyarakat (zakat) akan tetap berlangsung. Sehingga langkah untuk menghilangkan kemiskinan akan tetap berlanjut tanpa terpengaruh besar kecilnya pendapatan pemerintah maupun aturan-aturan baru.
Zakat merupakan pukulan hebat bagi kapitalisme. Sayangnya, terjadi kesalahpahaman mengenai zakat. Beberapa dari mereka menganggapnya sebagai suatu amal pribadi, padahal zakat adalah pajak wajib atas tabungan dan harta benda berdasarkan suku yang berbeda beda, mulai dari dua sampai dua puluh persen.
Zakat merupakan musuh yang tak kenal kompromi bagi pekerjaan menimbun. Ia mencegah kecenderungan untuk menimbun sumbuer daya, dan uang tunai yang tidak digunakan, ia juga memberi dorongan kuat untuk menginvestaikan persediaan yang tak terpakai ini. Dorongan ini memperoleh banyak kekuatan dari kenyataan bahwa islam memperkenanka laba dan mitra usaha diam, dengan berbagai laba maupun kerugian.
Tujuan dari kegiatan zakat adalah berdasarkan sudut pandang system ekonomi pasar menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisis kebijakan fiskal dalam system ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumberdaya ekonomi dan stabilitas ekonomi.
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan dampak kegiatan zakat didalam suatu perekonomian dewasa ini belum banyak berkembang. Karena unsur zakat dalam system ekonomi konvensional bukan merupakan suatu variabel utama dalam struktur teori yang ada. Dalam struktur ekonomi konvensional unsur utama dalam kebijakan fiscal adalah unsure-unsur yang berasal dari berbagai jenis pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dan unsure-unsur yang berkaitan dengan variabel pengeluaran pemerintah.
Zakat merupakan poros dan pusat keungan Negara Islam.zakat meliputi bidang moral, social dan ekonomi. Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan pada sikaya. Dalam bidang sosial zakat bertindaka sabagai alat khas yang diberikan islam untuk menghapus kemiskinan. Dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan segelintir orang yang memungkinkan kekayaan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya ditangan para pemiliknya. Ia merupakan sumbangan wajib bagi kaum muslim untuk pembendaharaan Negara. Zakat sesungguhnya merupakan instrument fiscal islami yang sangat luar biasapotensinya. Potensi zakat ini jika digarap dengan baik, akan menjadi sumber pendanaan yang sangat besar., sehingga dapat menjadikan kekuatan pendorong pemberdayaan ekonomi umat dan pemerataan pendapat. Ujung dari semua itu akan bermuara pada meningkatnya perekonomian bangsa. Harta zakat sesungguhnya masuk kategori harta milik individu (milkiyah fardiyah), yaitu individu yang termasuk 8 ashnaf, bukan milik negara (milkiyah daulah). Namun demikian, sebenarnya pengelolaan zakat adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab individu atau lembaga-lembaga sosial. Dengan kata lain, yang disebut Amilin Zakat, sebenarnya, adalah orang-orang yang ditetapkan oleh khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Mereka itulah yang berhak mendapatkan bagian harta zakat dari golongan Amilin Zakat.
Zakat di wajibkan hanya bagi orang yang hartanya memenuhi batas nishab, Rumus dan contoh untuk pembayaran zakat zakat mal atau zakat harta kekayaan dan zakat profesi dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan yang dilakoni.
A. Rumus Perhitungan Zakat Profesi / Pekerjaan
Zakat Profesi = 2,5% x (Penghasilan Total - Pembayaran Hutang / Cicilan)
Menghitung Nisab Zakat Profesi = 520 x harga beras pasaran perkg
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Profesi :
Jika Bang Jarwo punya gaji 2 juta perbulan dan penghasilan tambahan dari kios jualan pulsa dan perdana sebesar 8 juta perbulan maka total penghasilan Bang Jarwo sebesar 10 juta tiap bulan. Bang Jarwo membayar cicilan kredit apartemen tidak bersubsidi pemerintah sebesar 5 juta perbulan.
Harga beras sekilo yang biasa dikonsumsi yaitu sekitar Rp. 8.000,- per kilogram, sehingga nisab zakatnya adalah Rp. 4.160.000,-. Karena Bang Jarwo penghasilan bersihnya 5 juta dan ada di atas nisab, maka Bang Jarwo harus bayar zakat profesi sebesar Rp. 5 juta x 2,5% = Rp. 125.000,- di bulan itu. Untuk bulan selanjutnya dihitung kembali sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Zakat profesi memang jadi perdebatan karena tidak ada dalil yang mengena. Di kantor pemerintah umumnya setiap penghasilan otomatis dipotong 2,5% (penuh) untuk zakat profesi. Dengan begitu institusi resmi (ulama) Agama Islam di Indonesia berarti belum mengeluarkan fatwa haram untuk zakat profesi artinya bukan bid'ah. Jika anda tidak sependapat maka sebaiknya ikhlaskan saja dan anggap itu sebagai amal sodakoh anda atau tidak mengeluarkan zakat profesi tetapi membayar zakat mal.
B. Menghitung Zakat Maal / Harta Kekayaan
Zakat Maal = 2,5% x Jumlah Harta Yang Tersimpan Selama 1 Tahun (tabungan dan investasi)
Menghitung Nisab Zakat Mal = 85 x harga emas pasaran per gram
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Maal Harta:
Nyonya Upit Marupit punya tabungan di Bank Napi 100 juta rupiah, deposito sebesar 200 juta rupiah, rumah rumah kedua yang dikontrakkan senilai 500 juta rupiah dan emas perak senilai 200 juta. Total harta yakni 1 milyar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak satu tahun yang lalu.
Jika harga 1 gram emas sebesar Rp. 250.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp. 21.250.000,-. Karena harta Nyonya Upit Marupit lebih dari limit nisab, maka ia harus membayar zakat mall sebesar Rp. 1 milyar x 2,5% = 25 juta rupiah per tahun.
Harta yang wajib dibayarkan zakat mal / zakat harta : Emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, binatang ternak, benda usaha (uang, barang dagangan, alat usaha yang menghasilkan) dan harta temuan.
Perhitungan untuk hasil pertanian, peternakan, dan harta temuan ada ketentuan yang berbeda dalam hal nisab maupun besaran zakatnya. Ada juga buku yang berpendapat nisab emas adalah 93,6 gram dan perak 672 gr. Untuk lebih mudah bisa kita konversi ke rupiah dulu.
Ke-efektifan pemerintah negeri Jiran Malaysia Dukungan pemerintah Malaysia juga tercermin dari kebijakan zakat pengurang pajak, meski baru pada level zakat dan pajak individu, dan belum zakat dan pajak korporasi. Yang menarik adalah, pasca penerapan kebijakan tersebut, pendapatan zakat dan pajak meningkat secara simultan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 1 : Pendapatan Zakat dan Pajak Malaysia (dalam ringgit)
Tahun Zakat (1) Pajak (2) Prosentase Zakat terhadap Pajak (3)
2001 321 juta 79.57 milyar 0.40
2002 374 juta 83.52 milyar 0.45
2003 408 juta 92.61 milyar 0.44
2004 473 juta 99.40 milyar 0.48
2005 573 juta 106.30 milyar 0.54
Sumber : (1) Laporan Tahunan Pusat Pungutan Zakat Malaysia, 2006
(2) Laporan Kementerian Keuangan Malaysia, 2006
(3) Diolah
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika zakat mampu berperan aktif di dalam mengurangi angka kemiskinan di Malaysia. Hal tersebut antara lain dapat dibuktikan oleh riset Patmawati (2006), seorang pakar zakat asal Universiti Malaya (UM) Malaysia, yang menemukan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin, mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah Selangor, Malaysia. Kesenjangan pendapatan pun dapat dikurangi. 10 persen kelompok masyarakat terbawah dapat menikmati 10 persen kekayaan karena zakat. Jika tanpa zakat, maka kelompok masyarakat terbawah tersebut hanya menikmati 9,6 persen kekayaan saja. Sedangkan 10 persen kelompok teratas menikmati 32 persen kekayaan, atau turun dari angka 35,97 persen jika tanpa zakat. Ini membuktikan bahwa kesenjangan antar kelompok dapat dikurangi.
Adapun dukungan regulasi yang diperlukan bagi pembangunan zakat di tanah air adalah : Pertama, perlunya amandemen UU 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kewenangan BAZNAS dan pembagian fungsi antara BAZNAS, BAZDA dan LAZ perlu diperjelas. BAZNAS harus didorong menjadi otoritas zakat tertinggi laiknya BI yang menjadi otoritas moneter tertinggi. Jika perlu, dibuat menjadi setingkat kementerian. Kedua, dukungan anggaran dan dana yang memadai. Ketiga, penerapan kebijakan zakat pengurang pajak, untuk menstimulasi peningkatan penerimaan zakat.
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
PENERIMAAN DAN PENYALURAN TAHUN 2010
BULAN APRIL 2010
Penerimaan :
Zakat Rp 1.005.224.719,85
Infaq shadaqah Rp 861.093.982,00
Natura Rp 50.000.000,00
Jumlah penerimaan april 2010 Rp 1.916.318.701,85
Jumlah penerimaan sampai dengan maret 2010 Rp 4.091.904.246,77
Jumlah penerimaan sampai dengan april 2010 Rp 6.008.222.948,62
Penyaluran :
Indonesia peduli Rp 427.989.210,00
Indonesia sehat Rp 326.673.423,00
Indonesia cerdas Rp 862.024.000,00
Indonesia makmur Rp 421.214.000,00
Indonesia takwa Rp 106.930.000,00
Usz Rp 59.392.100,00.
Jumlah penyaluran april 2010 Rp 2.204.222.733,00
Jumlah penyaluran sampai dengan maret 2010 Rp 3.040.733.333,00
Jumlah penyaluran sampai dengan april 2010 Rp 5.244.956.066,00
Jumlah penyaluran konter sampai dengan april 2010 Rp 1.235.500.455,00
Melihat data Badan Amil Zakat yang tercantum pada table diatas, penerimaan zakat tahun 2010 sampai bulan April mencapai Rp 6.008.222.948,62, dari dana itu digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, bencana alam, pembiayaan usaha masyarakat, dan lain sebagainya. padahal ini belum seperti peraturan pajak yang diwajibkan, hanya sebatas kesadaran individu.
Sekarang ini, berdasarkan peraturan Menteri Agama, kini telah diatur dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. Hal paling penting dalam undang-undang itu adalah diperhitungkannya zakat sebagai faktor pengurang pajak. Ketentuan monumental itu juga dikukuhkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jelas, aturan itu amat menggembirakan. Dengan aturan itu, subyek wajib zakat (muzaki), baik perorangan maupun badan usaha muslim, tak lagi terkena beban ganda: sudah membayar pajak diwajibkan lagi membayar zakat mal (harta) ataupun zakat fitrah. Memang, ketentuan baru tentang zakat sebagai pengurang pajak akan berlaku pada tahun 2001. Toh, kewajiban zakat yang dipaksakan oleh undang-undang itu diperkirakan akan berimplikasi pada semakin besarnya beban bagi perusahaan swasta atau badan usaha milik negara. Selain itu, sumber dana dari pajak penghasilan juga diduga bisa menurun.
Itulah masalah yang dibahas pada seminar tentang zakat perusahaan di Jakarta, Kamis pekan lalu. Sekitar 120 orang dari kalangan agama, perpajakan, dan pengusaha menghadiri seminar yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa harian Republika. Tentu saja dalam seminar itu juga dikaji segi positif dari ketentuan di atas, di antaranya kemungkinan mengefektifkan perolehan dana zakat dan pemanfaatannya bagi kemaslahatan umat, terlebih pada masa krisis ekonomi. Dari instansi perpajakan, ada Direktur Pajak Penghasilan, Gunadi, yang menjelaskan mekanisme pengurangan zakat dari pajak. Menurut Gunadi, jumlah pajak penghasilan diambilkan 10 persen dari penghasilan kena pajak. Penghasilan itu merupakan sisa dari penghasilan bruto seseorang atau perusahaan setelah dikurang harga pokok penjualan, laba bruto usaha, biaya umum dan administrasi, serta zakat sebesar 2,5 persen dari penghasilan bruto. Jadi, wajib pajak cukup membayar pajak sesungguhnya dikurangi nominal zakat yang telah dibayar. Aturan serupa juga berlaku bagi zakat dan pajak penghasilan perorangan. Tentu peniadaan beban ganda itu dapat merangsang peningkatan perolehan dana zakat. Bisa dibayangkan, kelak lembaga pengelola zakat akan kebanjiran dana yang mengalir dari umat Islam dalam jumlah dahsyat. Harap dimaklumi, selama ini zakat yang terkumpul masih jauh dari potensi sesungguhnya.
Menurut K.H. Didin Hafidhuddin, potensi zakat di Indonesia ditaksir bisa mencapai Rp 7,6 triliun per tahun. Tapi, kenyataannya, berapa zakat terkumpul? Tahun 1999 saja cuma Rp 40 miliar. Sungguh, kenyataan itu memprihatinkan. Ya, mungkin, ''Itu menyangkut soal kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat," kata Abdul Shomad dari Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Jakarta. Rendahnya hasil pungutan zakat dari masyarakat di Indonesia juga dialami oleh Dompet Dhuafa Republika. Dari hasil survei lembaga itu, diperkirakan ada 2 juta muzaki di Jakarta. Kriteria wajib zakat adalah bila seseorang berpenghasilan di atas Rp 1 juta per bulan. Ternyata, kata Ahmad Juwaeni, salah satu direktur Dompet Dhuafa, muzaki yang terjaring lembaga itu hanya 25 ribu orang. ''Padahal kami telah berusaha menjaring mereka dengan berbagai cara," ujar Juwaeni.
Memang, memperoleh kepercayaan masyarakat tak gampang. Apalagi pelbagai lembaga pengelola (pengumpul dan penyalur) zakat selama ini disebut-sebut tak luput dari wabah korupsi, setidaknya kebocoran dana akibat pengurusan keuangan yang tak beres. Sudah begitu, pemerintah (Departemen Agama) agaknya juga belum siap menyambut pelaksanaan ketentuan baru di atas. Buktinya, ketika Dompet Dhuafa Republika buru-buru mendaftarkan diri untuk menjadi lembaga pengelola zakat, petugas departemen itu gelagapan. ''Bahkan, mereka tak tahu siapa yang harus mencatat kami," kata Juwaeni. Tampaknya Indonesia harus belajar dari negeri jiran. Di Malaysia, misalnya, dana zakat bisa terkumpul sebesar 275 juta ringgit (sekitar Rp 605 miliar) pada 1999. Padahal jumlah penduduk Malaysia tak sebanyak Indonesia. Di Singapura demikian pula. Tahun lalu, Majlis Ulama Islam Singapura (MUIS), penasihat presiden yang salah satu tugasnya mengelola zakat, bisa mengumpulkan zakat senilai S$ 8,2 juta (sekitar Rp 40 miliar). Keberhasilan dua negara tetangga itu antara lain karena pengelolaan zakat dilakukan secara modern dan bersih dari korupsi.
Peran zakat dalam mengurangi kemsikinan sudah bisa dilihat dan dirasakan oleh sebagian masyarakat. Peran lembaga pengelola zakat tidak bisa dilepaskan dari hal ini karena mereka telah berhasil mengelola zakat yang terkumpul untuk disalurkan kepada golongan yang berhak, meskipun jumlahnya masih terbatas. Sementara peran wakaf baru sebatas pada wakaf tanah dan bangunan yang mana manfaatnya tidak bisa sefleksibel wakaf tunai. Peran wakaf tunai yang lebih fleksibel akan memberi pengaruh lebih luas kepada masyarakat. Namun untuk memberi pengaruh yang luas tersebut diperlukan sosialisasi yang berkelanjutan. Sosialisasi wakaf dan zakat pada dasarnya sama dengan kegiatan dakwah yang berjalan terus menerus. Meskipun kaum muslimin dalam KTP-nya beragama Islam, tetap perlu mendapatkan dakwah yang terus menerus. Disinilah kekurangan yang dirasakan dalam melakukan sosialisasi terhadap berbagai instrumen sistem ekonomi syariah. Instrumen atau produk dari sistem ekonomi syariah tidak hanya menjadi tanggung jawab bagian pemasaran lembaga yang bersangkutan, tetapi tanggung jawab seluruh karyawan dan bahkan stake holder.
Di lain sisi, ada suatu pendapat yang menganggap bahwa seandainya suatu negara hanya menerapkan zakat, tanpa pajak, maka pembiayaan negara tidak akan mencukupi. Alasannya bahwa tarif zakat hanya 2,5% sedangkan tarif pajak bisa disesuaikan, dan biasanya lebih besar daripada tarif zakat, misal tarif pajak itu di atas 10%.
Benarkah pernyataan di atas?
Pernyataan di atas adalah tidak benar karena meskipun tarif zakat hanya 2,5%, tetapi ia dikenakan juga pada harta, bukan semata-mata pada faktor penambah harta (penghasilan).
Silakan ikuti perhitungan berikut:
Zakat = 2,5% x HartaAkhir
yang mana:
Harta Akhir = Harta Awal + (Penghasilan - Pengeluaran)
Sedangkan:
Pajak = 10% x Penghasilan
Nah:
Zakat > Pajak, kalau:
→ 2,5% x (HartaAwal + Penghasilan - Pengeluaran) > 10% x Penghasilan
→ (HartaAwal - Pengeluaran) > 3 x Penghasilan
Jadi, ada situasi bahwa zakat harta itu akan lebih besar dari pada pajak penghasilannya, yakni pada orang-orang yang memiliki harta awal berlebih, khususnya dari harta simpanan dari tahun sebelumnya). Seandainya sistem pajak diganti sepenuhnya oleh sistem zakat tidak akan memenuhi APBN? Belum tentu.
Perlu ditegaskan bahwa pajak dan zakat keduanya merupakan kewajiban yang harus dipenuhi,namun didalam zakat terdapat ketentuan bahwa ia bersifat tetap dan terus-menerus, ia tetap eksis selama eksisnya agama islam dan umatnya. Tidak ada pihak atau seseorang, misalnya penguasa dapat menghapus zakat, sebab zakat memiliki posisi seperti shalat, ia bersifat abadi hingga akhir zaman. Sementara pajak tidak bersifat abadi dan tetap, karena pajak dapat saja dikurangi, dinaikkan dan dihapuskan –sangat tergantung kepada penguasa. Kalau penguasanya kaum borjuasi (kapitalis) maka pajak akan dinaikkan prosentasenya atau ada kebijakan khusus dari rezim, tapi kalau penguasanya sosialis (komunis) dengan sistem politiknya, maka pajak ditiadakan, karena tidak ada kepemilikan pribadi, semua yang ada milik bersama (diktator proletariat). Pajak disediakan untuk membiayai proyek-proyek sosial politik rezim sebagaimana yang telah disepakati oleh berbagai faksi politik dan rumusan umumnya kebijakan negara, sementara pengeluaran zakat ditentukan oleh perintah agama, ia harus terpisah dari keuangan umum negara, sasaran zakat yang penting adalah kemanusiaan dan ke-islaman. Pos-pos pengeluaran pajak dan zakat sebetulnya sama yakni untuk kepentingan bersama, tapi pajak lebih menekankan kepada ”kompromi” politik penguasa dengan faksi-faksi politik sedangkan zakat sudah jelas dialokasikan untuk dunia kemanusiaan.
IMPLIKASI PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa zakat lebih efektif peranannya dalam membangun ekonomi bangsa yaitu dalam hal mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. zakat terdapat ketentuan bahwa ia bersifat tetap dan terus-menerus, ia tetap eksis selama eksisnya agama islam dan umatnya. Tidak ada pihak atau seseorang, misalnya penguasa dapat menghapus zakat, sebab zakat memiliki posisi seperti shalat, ia bersifat abadi hingga akhir zaman. Sementara pajak tidak bersifat abadi dan tetap, karena pajak dapat saja dikurangi, dinaikkan dan dihapuskan sangat tergantung kepada penguasa.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Pemerintah harus memiliki political will untuk mendorong berkembangnya zakat dan wakaf sebagai bagian dari instrumen fiskal (yang berada di luar APBN), maka tinggal umat Islam yang harus mengimplementasikan dengan serius. Dan harus ada pendekatan yang dilakukan kepada pemerintah untuk meyakinkan bahwa instrumen ekonomi syariah bisa membantu mengatasi persoalan yang dihadapi pemerintah.
Apabila sistem zakat tidak sepenuhnya bisa menghapus sistem pajak yang telah ada, paling tidak zakat bisa digunakan sebagai alternatif pengentasan kemiskinan di Indonesia, dan pemberlakuan sistem wakaf bisa menjadi alternatif dana bagi defisitnya anggaran negara.
KETERBATASAN PENELITIAN DAN PENELITIAN LANJUTAN
Keterbatasan penelitian ini terletak pada tidak adanya perbandingan data penerimaan zakat dari tahun ke-tahun, karena minimnya Buku referensi yang kami dapat, sehingga kami menyajikan penelitian kami dengan pembahasan yang kurang maksimal. Dan untuk melengkapi pembahasan, kami ambil cuplikan artikel dari website. Untuk pembahasan zakat, kami mendapatkan data yang kurang lengkap dari website berbagai lembaga pengelolaan zakat, sehingga informasi yang kami sajikan juga kurang lengkap.
Untuk kedepannya diharapkan ada data penerimaan dan pendistribusian pajak dan zakat secara lengkap sehingga bisa diperbandingkan mengenai ke-efektifannya masing-masing. Dan kedepannya, perlu penilitian lapangan supaya data yang disajikan lebih akurat. Dan harus dilandasi teoti-teori perekonomian konvensional dan perekonomian islam, supaya melahirkan ide-ide dan teori-teori baru yang lebih cemerlang.
DAFTAR PUSTAKA
o G.kartasapoetra, E.Komaruddin, Rience G. Kartasapoetra. Pajak Bumi dan Bangunan. Penerbit Bina Aksara Jakarta, cetakan pertama; 1989
o Eko Suwardi, Perpajajakan, Penerbit Widya Sarana Informatika, edisi pertama ; 1999
o M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah. PT.Raja Grafindo Persada Jakarta, cetakan ke-4 ; 2003QS. At-Taubah: 103
o http://jufrism.wordpress.com//permasalahan-zakat-di-indonesia
o http://www.upzmalaysia.org//memperkuat peran zakat dalam pembangunan nasional & Penerimaan dan penyaluran Badan Amil Zakat
o http://www.baznas.or.id //Pembangunan ekonomi umat berbasis zakat
o http://www.bps.org//Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi edisi 5 Oktober 2010_Kemiskinan Maret 2010
o http://erwinfs.multiply.com// Kebijakan Fiskal 100 Hari Pertama
o Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat sebagai etika pajak dan belanja Negara untuk rakyat, PT. Mizan Pustaka, cetakan 1; 2010
o http://jurnal-ekonomi.org/2004/01/11/reinterpretasi-alokasi-zakat-mengkaji-ulang-mekanisme-distribusi-zakat-dalam-masyarakat-modern
o http://organisasi.org/rumus-cara-menghitung-zakat-maal-harta-fitrah-profesi-serta-nisab-dalam-agama-islam.
o http://majalah.tempointeraktif.com// Zakat Dibayar, Pajak pun Berkurang
o http://diantn.blogspot.com/2009/01/perbedaan-matematis-pajak-dan-zakat.html
ABSTRAK
Penelitian tentang zakat ini dirasa perlu kami lakukan, mengingat bertambahnya kemiskinan dan pengangguran akibat dampak dari krisis global. Penelitian tentang sistem dan tata cara pelaksanaan serta persayaratannya sangat penting kita analisis, karena sangat menentukan ke-efektifan penerapan system zakat sebagai alternative pajak. Hasil dari penelitian studi dirangkum kedalam jurnal ini yang pemaparannya menjelaskan tentang definisi, studi kasus, perbandingan, penerapannya. Dan penelitian ini dengan menggunakan data kepustakaan dari buku, dan dari data itu kita rangkum dan kita ambil yang sekiranya sesuai dengan pembahasannya. Dan mengambil sekilas dari kutipan artikel para penulis, kemudian kami menggunakan pendekatan deskriptif untuk memaparkan dari pendapat penulis.
PENDAHULUAN
Pajak ialah iuran dari rakyat / penduduk kepada kas Negara. Atau dengan kata lain; peralihan sebagian kecil hasil kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang. Pajak telah berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Salah satu pembiayaan Negara yang penting dalam hal ini adalah pembangunan sosial kemanusiaan, selain pembiayaan lainnya. Sesuai amanat konstiusi dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2, bahwa Negara harus memberikan jaminan yang adil kepada rakyat dengan menggunakan uang pajak. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menembah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Sedangkan pengertian dari zakat ialah kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan syarat tertentu. zakat merupakan sarana bagi umat Islam untuk membersihkan diri dari kekotoran kekikiran terutama harta benda. Dan merupakan kewajiban yang telah ditentukan standarnya, apa saja harta benda yang dimiliki yang berhak untuk dikeluarkan zakatnya, kepada siapa dan sudah berapa lama harta itu dimiliki sehingga zakatnya menjadi wajib hukumnya dikeluarkan. Zakat bukan hanya sekedar kewajiban yang mengandung nilai teologis, tetapi juga kewajiban finansial yang mengandung nilai sosial yang tinggi. Persoalan ini, tidak lepas juga dari pamahaman umat (yang wajib zakat) terhadap makna subsansi zakat. Zakat hanya sebagai suatu kewajiban agama (teologis) untuk membersihkan harta milik dari kekotoran. Zakat memainkan peran penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumen. Dengan zakat distibusi lancar dan kekayaan tidak melingkar di sekitar golongan elit (konglomerat).
TINJAUAN LITERATUR
Di antara problematika krusial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika per Maret 2008, terlepas dari kontroversi yang timbul dari data tersebut, tingkat kemiskinan di Indonesia berkisar pada angka 34,96 juta jiwa. Namun demikian, setelah harga BBM dinaikkan pada bulan Mei 2008, angka tersebut diprediksikan naik sebesar 8,5 persen. Belum ada data pasti bagaimana dampak terhadap kemiskinan setelah harga bensin premium diturunkan Rp 500. Sementara itu, World Bank dalam laporannya pada tahun 2007 menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 108,7 juta jiwa, atau 49 persen dari jumlah penduduk di tanah air.
Munculnya perbedaan pada kedua lembaga tersebut dikarenakan adanya perbedaan pendekatan dan kriteria yang digunakan. BPS menggunakan standar 2100 kilo kalori sebagai ukuran kemiskinan, atau senilai pendapatan per kapita Rp 152.847 per bulan. Artinya, seseorang dikatakan sebagai miskin apabila berpendapatan di bawah angka tersebut. Sedangkan World Bank menggunakan standar pendapatan per kapita USD 2 per hari, dimana angka ini disebut juga sebagai angka kemiskinan absolut. Maknanya, hampir separuh penduduk Indonesia berpendapatan di bawah USD 2 per hari.
Sementara itu, pengangguran juga menjadi masalah krusial yang belum terpecahkan dengan baik. Meski mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 1,1 juta orang, pengangguran terbuka di tanah air berdasarkan data BPS per Februari 2008 mencapai 9,4 juta orang, atau 8,5 persen dari total angkatan kerja. Dari angka ini, 4,5 juta orang di antaranya adalah lulusan SMA/SMK/diploma dan universitas.
Pengangguran menurut BPS didefinisikan sebagai orang yang bekerja kurang dari 1 jam setiap minggunya. Jika seseorang bekerja lebih dari 1 jam setiap minggu, meskipun pendapatannya tidak mencukupi, namun ia tidak bisa dikatakan sebagai pengangguran. Kriteria ini kemudian mengundang kritikan sejumlah pakar karena negara-negara lain, terutama negara maju, pada umumnya menggunakan standar kerja sekurang-kurangnya 15 jam per minggu sebagai syarat minimal agar tidak dikategorikan sebagai pengangguran.
Klaim bahwa pertumbuhan ekonomi mampu mengurangi pengangguran juga tidak sepenuhnya tepat. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didominasi oleh sektor-sektor non tradable dalam perekonomian (sektor jasa, seperti telekomunikasi) yang bersifat padat modal dan kurang menyerap tenaga kerja, bila dibandingkan dengan sektor tradable yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti pertanian dan manufaktur. Pada tahun 2007 lalu misalnya, sektor telekomunikasi tumbuh 20 persen, jauh melebihi pertanian dan manufaktur yang masing-masing tumbuh sebesar 2-3 persen dan 4-5 persen.
Daya beli masyarakat pun mengalami penurunan. Sebagai contoh, berdasarkan kajian Tim Indonesia Bangkit, upah riil petani pada tahun 2007 mengalami penurunan sekitar 0,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian pula dengan upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan tukang potong rambut, mengalami penurunan masing-masing sebesar 2 persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. Masih dalam periode yang sama, upah riil buruh industri mengalami penurunan sebesar 1,2 persen. Menurunnya upah riil kelompok rakyat kecil tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tahun lalu sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas. Sementara orang-orang miskin tetap terpuruk dan mengalami ketidakberdayaan.
Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran ini juga sepertinya belum akan menunjukkan tren penurunan. Hal ini disebabkan, selain oleh faktor domestik, juga oleh faktor eksternal yang dampaknya sangat terasa, yaitu krisis keuangan global. Hingga saat ini, krisis keuangan global belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, meski beberapa negara besar dunia telah membuat sejumlah rencana penyelamatan, seperti AS dengan bail out plan senilai USD 700 milyar, dan juga China dengan paket stimulus senilai USD 586 milyar. Kondisi perekonomian global ini juga telah membuat PM Inggris Gordon Brown untuk mendesak para pemimpin dunia untuk mau merubah arsitektur sistem keuangan global yang ada sekarang.
Di tengah situasi seperti ini, maka Indonesia perlu mencari sejumlah formula kebijakan baru yang dapat membantu mempercepat upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Apalagi K.A. Ishak dari Oregon University AS pada tahun 2003 mempublikasikan hasil riset yang menunjukkan kegagalan lembaga-lembaga pembangunan internasional di dalam mengurangi kemiskinan global. Sehingga, ia pun merekomendasikan perlunya mengadopsi strategi baru dalam memerangi kemiskinan global. Dalam riset itu pula, Ishak menegaskan bahwa zakat harus dioptimalkan mengingat ia adalah instrumen yang secara tradisional dan kultural dekat dengan kehidupan masyarakat Timteng dan Afrika Utara. Karena itu, bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, optimalisasi instrumen ZIS merupakan kebutuhan yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.
METODE PENELITIAN
Sumber penelitian kepustakaan ini mengambil dari beberapa buku tentang perpajakan dan zakat. Dan sebagian lain mengutip dari artikel penulis dari beberapa website. Analisis jumlah kemiskinan mengambil data dari website Badan Pusat Statistik. Kemudian kita paparkan data tersebut dan kita hubungkan dengan fungsi dari zakat.. Serta kami mengambil beberapa pendapat dari para pakar ekonomi yang ditulis dalam bentuk artikel, kemudian dari cuplikan itu kami kutip dan paparkan, kemudian kami bandingkan atau gabungkan dengan pendapat lain baik dari buku maupun dari artikel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Pasca krisis, jumlah penduduk miskin Indonesia masih besar dan tersebar luas. Di tahun 2004 BPS memperkirakan jumlah orang miskin adalah 36,1 juta orang atau 16,6% dari total penduduk. Pada saat yang sama perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa angka kemiskinan tahun 2004 hanya 7,4% dengan garis kemiskinan US$1 sehari, maka jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4% atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini ekuivalen dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.
Sementara itu angka pengangguran juga menunjukkan angka yang sangat tinggi. Mengacu pada data Badan Pusat Statiska (Sakernas) pada tahun 2000, jumlah pengangguran setengah terbuka mencapai sekitar 30 juta jiwa. Angka ini tidak banyak mengalami perubahan walaupun ada trend penurunan, yaitu sekitar 28,8 juta pengangguran pada tahun 2002, dan pada tahun 2004 masih di kisaran 28 juta jiwa (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di kota dan di desa, antara lain sebagai berikut:
TAHUN KOTA DESA TOTAL
2000 12,30 26,40 38,70
2001 8,60 29,30 37,90
2002 13,30 25,10 38,40
2003 12,20 25,10 37,30
2004 11,40 24,80 36,10
2005 12,40 22,70 35,10
2006 14,49 24,81 39,30
2007 13,56 23,61 37,17
Sumber BPS, 2007
Menurut SUSENAS, bahwa anak putus sekolah berjumlah 7,5 juta dan gizi buruk balita 27,5 persen. Sementara itu, UNICEF mencatat gizi buruk sebanyak 40 persen dan busung lapar 8 persen = 1,6 juta jiwa.
Lemahnya usaha memerangi kemiskinan di era otonomi daerah juga dikonfirmasi oleh berbagai studi empiris. Studi jasmina et. Al (2001) menunjukkan bahwa baru 268 daerah yang telah menerapkan kebijakan pembelanjaan anggaran yang bersifat pro-poor (berpihak pada orang miskin). Sementara itu studi Sumarto et. Al (2002) menunjukkan bahwa tata kelola pemerintah yang semakin memburuk di era otonomi daerah, secara nyata dan sistematik telah menghambat upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan structural. Artinya, kemiskinan yang ada tidak hanya disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan terutama disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model saat ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok the have kepada the poor. Diperlukan sebuah sistem yang mampu menciptakan Keadilan di mana kemandirian ekonomi dapat menciptakan peluang kerja yang mampu menggerakkan sector riil sehingga secara otomatis kemiskinan juga dapat teratasi.
Pengembangan sekotr riil menjadi agenda yang sangat penting, mengingat hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan produktivitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sector riil-nya di dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Menurut aturan islam, mekanisme peran pemerintah dalam menggerakkan sector riil dalam upayanya melindungi masyarakat miskin di implementasikan dalam kebijakan dengan zakat sebagai sebagai instrument utama. Sejarah membuktikan Zakat sebagai sebuah sistem fiscal mampu menjaga kestabilan perekonomian, dapat melindungi si lemah dari ketidakadilan jalannya sistem perekonomian (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Bandingkan dengan hasil sensus penduduk yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik pada bulan Mei 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.556.363 jiwa.
Jumlah total penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 1,51 juta. Dan jika kita perbandingkan dengan tahun 2010
Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih banyak daripada daerah
perdesaan. Selama periode Maret 2009 - Maret 2010, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2010 persentase adalah sebesar 64,23 persen.11
Pembahasan
Kemiskinan disebabkan karena tidak meratanya distribusi pendapatan. Pendistribusian pendapatan dikatakan sempurna (merata) bila 20% keluarga paling miskin menikmati 20% pendapatan nasional. 20% kelompok keluarga berikutnya juga menukmati 20% pendapatan nasional. Dengan demikian 40% kelompok keluarga menikmati pendapatan nasional. Begitu seterusnya sehingga total akumulasi 100% keluarga menikmati 100% pendapatan nasional. Yang jadi permasalahan sekarang adalah “Bagaimana cara menghitung pendapatan nasional menurut teori konvensional” apakah sudah mencakup semua aspek?
Jika melihat sistem ekonomi konvensional, pendapatan nasional dapat dirumuskan dengan persamaan Y=C+I+G+(X-M) dimana Y=pendapatan nasional, C=konsumsi, I=investasi, G=pengeluaran pemerintah (government expenditure) dan (X-M) adalah jumlah ekspor bersih atau ekspor (X) dikurangi impor (M). Dari persamaan ini para pengamat ekonomi mensinyalir akan adanya kebuntuan fiskal karena diluar pengeluaran pemerintah, sektor konsumsi, investasi dan ekspor bersih pada saat ini tidak dapat diandalkan dalam meningkatkan pendapatan nasional. Sementara pengeluaran pemerintah melalui APBN pun masih sulit untuk memperbaiki krisis ekonomi, meskipun bisa dilakukan upaya perbesaran defisit anggaran. Melihat hal ini, Zakat memiliki peluang dalam membantu sektor fiskal memulihkan ekonomi.
Sedangkan cara menghitung pendapatan menurut Islam bisa dilihat melalui seberapa besarkah pendistribusian zakat, karena pendistribusian zakat tepat pada sasarannya. Yaitu pada 8 golongan antara lain ; Orang fakir, orang miskin, ‘Amil zakat, mu’allaf, budak, Fi Sabilillah, Ibnu sabil. Seberapa meratakah distribusi pendapatan, bisa dengan mengetahui seberapa besarkah zakat didistribusikan kepada 8 golongan tersebut, sehingga dari sini kita bisa mengetahui seberapa meratakah distribusi pendapat.
Karena didalam zakat terdapat ketentuan bahwa ia bersifat tetap dan terus-menerus, ia tetap eksis selama eksisnya agama islam dan umatnya. Tidak ada pihak atau seseorang, misalnya penguasa dapat menghapus zakat, sebab zakat memiliki posisi seperti shalat, ia bersifat abadi hingga akhir zaman. Jadi seandainya pendapatan negara pada suatu sa’at berkurang, bantuannya kepada masyarakat (zakat) akan tetap berlangsung. Sehingga langkah untuk menghilangkan kemiskinan akan tetap berlanjut tanpa terpengaruh besar kecilnya pendapatan pemerintah maupun aturan-aturan baru.
Zakat merupakan pukulan hebat bagi kapitalisme. Sayangnya, terjadi kesalahpahaman mengenai zakat. Beberapa dari mereka menganggapnya sebagai suatu amal pribadi, padahal zakat adalah pajak wajib atas tabungan dan harta benda berdasarkan suku yang berbeda beda, mulai dari dua sampai dua puluh persen.
Zakat merupakan musuh yang tak kenal kompromi bagi pekerjaan menimbun. Ia mencegah kecenderungan untuk menimbun sumbuer daya, dan uang tunai yang tidak digunakan, ia juga memberi dorongan kuat untuk menginvestaikan persediaan yang tak terpakai ini. Dorongan ini memperoleh banyak kekuatan dari kenyataan bahwa islam memperkenanka laba dan mitra usaha diam, dengan berbagai laba maupun kerugian.
Tujuan dari kegiatan zakat adalah berdasarkan sudut pandang system ekonomi pasar menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisis kebijakan fiskal dalam system ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumberdaya ekonomi dan stabilitas ekonomi.
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan dampak kegiatan zakat didalam suatu perekonomian dewasa ini belum banyak berkembang. Karena unsur zakat dalam system ekonomi konvensional bukan merupakan suatu variabel utama dalam struktur teori yang ada. Dalam struktur ekonomi konvensional unsur utama dalam kebijakan fiscal adalah unsure-unsur yang berasal dari berbagai jenis pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dan unsure-unsur yang berkaitan dengan variabel pengeluaran pemerintah.
Zakat merupakan poros dan pusat keungan Negara Islam.zakat meliputi bidang moral, social dan ekonomi. Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan pada sikaya. Dalam bidang sosial zakat bertindaka sabagai alat khas yang diberikan islam untuk menghapus kemiskinan. Dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan segelintir orang yang memungkinkan kekayaan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya ditangan para pemiliknya. Ia merupakan sumbangan wajib bagi kaum muslim untuk pembendaharaan Negara. Zakat sesungguhnya merupakan instrument fiscal islami yang sangat luar biasapotensinya. Potensi zakat ini jika digarap dengan baik, akan menjadi sumber pendanaan yang sangat besar., sehingga dapat menjadikan kekuatan pendorong pemberdayaan ekonomi umat dan pemerataan pendapat. Ujung dari semua itu akan bermuara pada meningkatnya perekonomian bangsa. Harta zakat sesungguhnya masuk kategori harta milik individu (milkiyah fardiyah), yaitu individu yang termasuk 8 ashnaf, bukan milik negara (milkiyah daulah). Namun demikian, sebenarnya pengelolaan zakat adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab individu atau lembaga-lembaga sosial. Dengan kata lain, yang disebut Amilin Zakat, sebenarnya, adalah orang-orang yang ditetapkan oleh khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Mereka itulah yang berhak mendapatkan bagian harta zakat dari golongan Amilin Zakat.
Zakat di wajibkan hanya bagi orang yang hartanya memenuhi batas nishab, Rumus dan contoh untuk pembayaran zakat zakat mal atau zakat harta kekayaan dan zakat profesi dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan yang dilakoni.
A. Rumus Perhitungan Zakat Profesi / Pekerjaan
Zakat Profesi = 2,5% x (Penghasilan Total - Pembayaran Hutang / Cicilan)
Menghitung Nisab Zakat Profesi = 520 x harga beras pasaran perkg
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Profesi :
Jika Bang Jarwo punya gaji 2 juta perbulan dan penghasilan tambahan dari kios jualan pulsa dan perdana sebesar 8 juta perbulan maka total penghasilan Bang Jarwo sebesar 10 juta tiap bulan. Bang Jarwo membayar cicilan kredit apartemen tidak bersubsidi pemerintah sebesar 5 juta perbulan.
Harga beras sekilo yang biasa dikonsumsi yaitu sekitar Rp. 8.000,- per kilogram, sehingga nisab zakatnya adalah Rp. 4.160.000,-. Karena Bang Jarwo penghasilan bersihnya 5 juta dan ada di atas nisab, maka Bang Jarwo harus bayar zakat profesi sebesar Rp. 5 juta x 2,5% = Rp. 125.000,- di bulan itu. Untuk bulan selanjutnya dihitung kembali sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Zakat profesi memang jadi perdebatan karena tidak ada dalil yang mengena. Di kantor pemerintah umumnya setiap penghasilan otomatis dipotong 2,5% (penuh) untuk zakat profesi. Dengan begitu institusi resmi (ulama) Agama Islam di Indonesia berarti belum mengeluarkan fatwa haram untuk zakat profesi artinya bukan bid'ah. Jika anda tidak sependapat maka sebaiknya ikhlaskan saja dan anggap itu sebagai amal sodakoh anda atau tidak mengeluarkan zakat profesi tetapi membayar zakat mal.
B. Menghitung Zakat Maal / Harta Kekayaan
Zakat Maal = 2,5% x Jumlah Harta Yang Tersimpan Selama 1 Tahun (tabungan dan investasi)
Menghitung Nisab Zakat Mal = 85 x harga emas pasaran per gram
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Maal Harta:
Nyonya Upit Marupit punya tabungan di Bank Napi 100 juta rupiah, deposito sebesar 200 juta rupiah, rumah rumah kedua yang dikontrakkan senilai 500 juta rupiah dan emas perak senilai 200 juta. Total harta yakni 1 milyar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak satu tahun yang lalu.
Jika harga 1 gram emas sebesar Rp. 250.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp. 21.250.000,-. Karena harta Nyonya Upit Marupit lebih dari limit nisab, maka ia harus membayar zakat mall sebesar Rp. 1 milyar x 2,5% = 25 juta rupiah per tahun.
Harta yang wajib dibayarkan zakat mal / zakat harta : Emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, binatang ternak, benda usaha (uang, barang dagangan, alat usaha yang menghasilkan) dan harta temuan.
Perhitungan untuk hasil pertanian, peternakan, dan harta temuan ada ketentuan yang berbeda dalam hal nisab maupun besaran zakatnya. Ada juga buku yang berpendapat nisab emas adalah 93,6 gram dan perak 672 gr. Untuk lebih mudah bisa kita konversi ke rupiah dulu.
Ke-efektifan pemerintah negeri Jiran Malaysia Dukungan pemerintah Malaysia juga tercermin dari kebijakan zakat pengurang pajak, meski baru pada level zakat dan pajak individu, dan belum zakat dan pajak korporasi. Yang menarik adalah, pasca penerapan kebijakan tersebut, pendapatan zakat dan pajak meningkat secara simultan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 1 : Pendapatan Zakat dan Pajak Malaysia (dalam ringgit)
Tahun Zakat (1) Pajak (2) Prosentase Zakat terhadap Pajak (3)
2001 321 juta 79.57 milyar 0.40
2002 374 juta 83.52 milyar 0.45
2003 408 juta 92.61 milyar 0.44
2004 473 juta 99.40 milyar 0.48
2005 573 juta 106.30 milyar 0.54
Sumber : (1) Laporan Tahunan Pusat Pungutan Zakat Malaysia, 2006
(2) Laporan Kementerian Keuangan Malaysia, 2006
(3) Diolah
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika zakat mampu berperan aktif di dalam mengurangi angka kemiskinan di Malaysia. Hal tersebut antara lain dapat dibuktikan oleh riset Patmawati (2006), seorang pakar zakat asal Universiti Malaya (UM) Malaysia, yang menemukan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin, mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah Selangor, Malaysia. Kesenjangan pendapatan pun dapat dikurangi. 10 persen kelompok masyarakat terbawah dapat menikmati 10 persen kekayaan karena zakat. Jika tanpa zakat, maka kelompok masyarakat terbawah tersebut hanya menikmati 9,6 persen kekayaan saja. Sedangkan 10 persen kelompok teratas menikmati 32 persen kekayaan, atau turun dari angka 35,97 persen jika tanpa zakat. Ini membuktikan bahwa kesenjangan antar kelompok dapat dikurangi.
Adapun dukungan regulasi yang diperlukan bagi pembangunan zakat di tanah air adalah : Pertama, perlunya amandemen UU 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kewenangan BAZNAS dan pembagian fungsi antara BAZNAS, BAZDA dan LAZ perlu diperjelas. BAZNAS harus didorong menjadi otoritas zakat tertinggi laiknya BI yang menjadi otoritas moneter tertinggi. Jika perlu, dibuat menjadi setingkat kementerian. Kedua, dukungan anggaran dan dana yang memadai. Ketiga, penerapan kebijakan zakat pengurang pajak, untuk menstimulasi peningkatan penerimaan zakat.
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
PENERIMAAN DAN PENYALURAN TAHUN 2010
BULAN APRIL 2010
Penerimaan :
Zakat Rp 1.005.224.719,85
Infaq shadaqah Rp 861.093.982,00
Natura Rp 50.000.000,00
Jumlah penerimaan april 2010 Rp 1.916.318.701,85
Jumlah penerimaan sampai dengan maret 2010 Rp 4.091.904.246,77
Jumlah penerimaan sampai dengan april 2010 Rp 6.008.222.948,62
Penyaluran :
Indonesia peduli Rp 427.989.210,00
Indonesia sehat Rp 326.673.423,00
Indonesia cerdas Rp 862.024.000,00
Indonesia makmur Rp 421.214.000,00
Indonesia takwa Rp 106.930.000,00
Usz Rp 59.392.100,00.
Jumlah penyaluran april 2010 Rp 2.204.222.733,00
Jumlah penyaluran sampai dengan maret 2010 Rp 3.040.733.333,00
Jumlah penyaluran sampai dengan april 2010 Rp 5.244.956.066,00
Jumlah penyaluran konter sampai dengan april 2010 Rp 1.235.500.455,00
Melihat data Badan Amil Zakat yang tercantum pada table diatas, penerimaan zakat tahun 2010 sampai bulan April mencapai Rp 6.008.222.948,62, dari dana itu digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, bencana alam, pembiayaan usaha masyarakat, dan lain sebagainya. padahal ini belum seperti peraturan pajak yang diwajibkan, hanya sebatas kesadaran individu.
Sekarang ini, berdasarkan peraturan Menteri Agama, kini telah diatur dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. Hal paling penting dalam undang-undang itu adalah diperhitungkannya zakat sebagai faktor pengurang pajak. Ketentuan monumental itu juga dikukuhkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jelas, aturan itu amat menggembirakan. Dengan aturan itu, subyek wajib zakat (muzaki), baik perorangan maupun badan usaha muslim, tak lagi terkena beban ganda: sudah membayar pajak diwajibkan lagi membayar zakat mal (harta) ataupun zakat fitrah. Memang, ketentuan baru tentang zakat sebagai pengurang pajak akan berlaku pada tahun 2001. Toh, kewajiban zakat yang dipaksakan oleh undang-undang itu diperkirakan akan berimplikasi pada semakin besarnya beban bagi perusahaan swasta atau badan usaha milik negara. Selain itu, sumber dana dari pajak penghasilan juga diduga bisa menurun.
Itulah masalah yang dibahas pada seminar tentang zakat perusahaan di Jakarta, Kamis pekan lalu. Sekitar 120 orang dari kalangan agama, perpajakan, dan pengusaha menghadiri seminar yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa harian Republika. Tentu saja dalam seminar itu juga dikaji segi positif dari ketentuan di atas, di antaranya kemungkinan mengefektifkan perolehan dana zakat dan pemanfaatannya bagi kemaslahatan umat, terlebih pada masa krisis ekonomi. Dari instansi perpajakan, ada Direktur Pajak Penghasilan, Gunadi, yang menjelaskan mekanisme pengurangan zakat dari pajak. Menurut Gunadi, jumlah pajak penghasilan diambilkan 10 persen dari penghasilan kena pajak. Penghasilan itu merupakan sisa dari penghasilan bruto seseorang atau perusahaan setelah dikurang harga pokok penjualan, laba bruto usaha, biaya umum dan administrasi, serta zakat sebesar 2,5 persen dari penghasilan bruto. Jadi, wajib pajak cukup membayar pajak sesungguhnya dikurangi nominal zakat yang telah dibayar. Aturan serupa juga berlaku bagi zakat dan pajak penghasilan perorangan. Tentu peniadaan beban ganda itu dapat merangsang peningkatan perolehan dana zakat. Bisa dibayangkan, kelak lembaga pengelola zakat akan kebanjiran dana yang mengalir dari umat Islam dalam jumlah dahsyat. Harap dimaklumi, selama ini zakat yang terkumpul masih jauh dari potensi sesungguhnya.
Menurut K.H. Didin Hafidhuddin, potensi zakat di Indonesia ditaksir bisa mencapai Rp 7,6 triliun per tahun. Tapi, kenyataannya, berapa zakat terkumpul? Tahun 1999 saja cuma Rp 40 miliar. Sungguh, kenyataan itu memprihatinkan. Ya, mungkin, ''Itu menyangkut soal kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat," kata Abdul Shomad dari Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Jakarta. Rendahnya hasil pungutan zakat dari masyarakat di Indonesia juga dialami oleh Dompet Dhuafa Republika. Dari hasil survei lembaga itu, diperkirakan ada 2 juta muzaki di Jakarta. Kriteria wajib zakat adalah bila seseorang berpenghasilan di atas Rp 1 juta per bulan. Ternyata, kata Ahmad Juwaeni, salah satu direktur Dompet Dhuafa, muzaki yang terjaring lembaga itu hanya 25 ribu orang. ''Padahal kami telah berusaha menjaring mereka dengan berbagai cara," ujar Juwaeni.
Memang, memperoleh kepercayaan masyarakat tak gampang. Apalagi pelbagai lembaga pengelola (pengumpul dan penyalur) zakat selama ini disebut-sebut tak luput dari wabah korupsi, setidaknya kebocoran dana akibat pengurusan keuangan yang tak beres. Sudah begitu, pemerintah (Departemen Agama) agaknya juga belum siap menyambut pelaksanaan ketentuan baru di atas. Buktinya, ketika Dompet Dhuafa Republika buru-buru mendaftarkan diri untuk menjadi lembaga pengelola zakat, petugas departemen itu gelagapan. ''Bahkan, mereka tak tahu siapa yang harus mencatat kami," kata Juwaeni. Tampaknya Indonesia harus belajar dari negeri jiran. Di Malaysia, misalnya, dana zakat bisa terkumpul sebesar 275 juta ringgit (sekitar Rp 605 miliar) pada 1999. Padahal jumlah penduduk Malaysia tak sebanyak Indonesia. Di Singapura demikian pula. Tahun lalu, Majlis Ulama Islam Singapura (MUIS), penasihat presiden yang salah satu tugasnya mengelola zakat, bisa mengumpulkan zakat senilai S$ 8,2 juta (sekitar Rp 40 miliar). Keberhasilan dua negara tetangga itu antara lain karena pengelolaan zakat dilakukan secara modern dan bersih dari korupsi.
Peran zakat dalam mengurangi kemsikinan sudah bisa dilihat dan dirasakan oleh sebagian masyarakat. Peran lembaga pengelola zakat tidak bisa dilepaskan dari hal ini karena mereka telah berhasil mengelola zakat yang terkumpul untuk disalurkan kepada golongan yang berhak, meskipun jumlahnya masih terbatas. Sementara peran wakaf baru sebatas pada wakaf tanah dan bangunan yang mana manfaatnya tidak bisa sefleksibel wakaf tunai. Peran wakaf tunai yang lebih fleksibel akan memberi pengaruh lebih luas kepada masyarakat. Namun untuk memberi pengaruh yang luas tersebut diperlukan sosialisasi yang berkelanjutan. Sosialisasi wakaf dan zakat pada dasarnya sama dengan kegiatan dakwah yang berjalan terus menerus. Meskipun kaum muslimin dalam KTP-nya beragama Islam, tetap perlu mendapatkan dakwah yang terus menerus. Disinilah kekurangan yang dirasakan dalam melakukan sosialisasi terhadap berbagai instrumen sistem ekonomi syariah. Instrumen atau produk dari sistem ekonomi syariah tidak hanya menjadi tanggung jawab bagian pemasaran lembaga yang bersangkutan, tetapi tanggung jawab seluruh karyawan dan bahkan stake holder.
Di lain sisi, ada suatu pendapat yang menganggap bahwa seandainya suatu negara hanya menerapkan zakat, tanpa pajak, maka pembiayaan negara tidak akan mencukupi. Alasannya bahwa tarif zakat hanya 2,5% sedangkan tarif pajak bisa disesuaikan, dan biasanya lebih besar daripada tarif zakat, misal tarif pajak itu di atas 10%.
Benarkah pernyataan di atas?
Pernyataan di atas adalah tidak benar karena meskipun tarif zakat hanya 2,5%, tetapi ia dikenakan juga pada harta, bukan semata-mata pada faktor penambah harta (penghasilan).
Silakan ikuti perhitungan berikut:
Zakat = 2,5% x HartaAkhir
yang mana:
Harta Akhir = Harta Awal + (Penghasilan - Pengeluaran)
Sedangkan:
Pajak = 10% x Penghasilan
Nah:
Zakat > Pajak, kalau:
→ 2,5% x (HartaAwal + Penghasilan - Pengeluaran) > 10% x Penghasilan
→ (HartaAwal - Pengeluaran) > 3 x Penghasilan
Jadi, ada situasi bahwa zakat harta itu akan lebih besar dari pada pajak penghasilannya, yakni pada orang-orang yang memiliki harta awal berlebih, khususnya dari harta simpanan dari tahun sebelumnya). Seandainya sistem pajak diganti sepenuhnya oleh sistem zakat tidak akan memenuhi APBN? Belum tentu.
Perlu ditegaskan bahwa pajak dan zakat keduanya merupakan kewajiban yang harus dipenuhi,namun didalam zakat terdapat ketentuan bahwa ia bersifat tetap dan terus-menerus, ia tetap eksis selama eksisnya agama islam dan umatnya. Tidak ada pihak atau seseorang, misalnya penguasa dapat menghapus zakat, sebab zakat memiliki posisi seperti shalat, ia bersifat abadi hingga akhir zaman. Sementara pajak tidak bersifat abadi dan tetap, karena pajak dapat saja dikurangi, dinaikkan dan dihapuskan –sangat tergantung kepada penguasa. Kalau penguasanya kaum borjuasi (kapitalis) maka pajak akan dinaikkan prosentasenya atau ada kebijakan khusus dari rezim, tapi kalau penguasanya sosialis (komunis) dengan sistem politiknya, maka pajak ditiadakan, karena tidak ada kepemilikan pribadi, semua yang ada milik bersama (diktator proletariat). Pajak disediakan untuk membiayai proyek-proyek sosial politik rezim sebagaimana yang telah disepakati oleh berbagai faksi politik dan rumusan umumnya kebijakan negara, sementara pengeluaran zakat ditentukan oleh perintah agama, ia harus terpisah dari keuangan umum negara, sasaran zakat yang penting adalah kemanusiaan dan ke-islaman. Pos-pos pengeluaran pajak dan zakat sebetulnya sama yakni untuk kepentingan bersama, tapi pajak lebih menekankan kepada ”kompromi” politik penguasa dengan faksi-faksi politik sedangkan zakat sudah jelas dialokasikan untuk dunia kemanusiaan.
IMPLIKASI PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa zakat lebih efektif peranannya dalam membangun ekonomi bangsa yaitu dalam hal mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. zakat terdapat ketentuan bahwa ia bersifat tetap dan terus-menerus, ia tetap eksis selama eksisnya agama islam dan umatnya. Tidak ada pihak atau seseorang, misalnya penguasa dapat menghapus zakat, sebab zakat memiliki posisi seperti shalat, ia bersifat abadi hingga akhir zaman. Sementara pajak tidak bersifat abadi dan tetap, karena pajak dapat saja dikurangi, dinaikkan dan dihapuskan sangat tergantung kepada penguasa.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Pemerintah harus memiliki political will untuk mendorong berkembangnya zakat dan wakaf sebagai bagian dari instrumen fiskal (yang berada di luar APBN), maka tinggal umat Islam yang harus mengimplementasikan dengan serius. Dan harus ada pendekatan yang dilakukan kepada pemerintah untuk meyakinkan bahwa instrumen ekonomi syariah bisa membantu mengatasi persoalan yang dihadapi pemerintah.
Apabila sistem zakat tidak sepenuhnya bisa menghapus sistem pajak yang telah ada, paling tidak zakat bisa digunakan sebagai alternatif pengentasan kemiskinan di Indonesia, dan pemberlakuan sistem wakaf bisa menjadi alternatif dana bagi defisitnya anggaran negara.
KETERBATASAN PENELITIAN DAN PENELITIAN LANJUTAN
Keterbatasan penelitian ini terletak pada tidak adanya perbandingan data penerimaan zakat dari tahun ke-tahun, karena minimnya Buku referensi yang kami dapat, sehingga kami menyajikan penelitian kami dengan pembahasan yang kurang maksimal. Dan untuk melengkapi pembahasan, kami ambil cuplikan artikel dari website. Untuk pembahasan zakat, kami mendapatkan data yang kurang lengkap dari website berbagai lembaga pengelolaan zakat, sehingga informasi yang kami sajikan juga kurang lengkap.
Untuk kedepannya diharapkan ada data penerimaan dan pendistribusian pajak dan zakat secara lengkap sehingga bisa diperbandingkan mengenai ke-efektifannya masing-masing. Dan kedepannya, perlu penilitian lapangan supaya data yang disajikan lebih akurat. Dan harus dilandasi teoti-teori perekonomian konvensional dan perekonomian islam, supaya melahirkan ide-ide dan teori-teori baru yang lebih cemerlang.
DAFTAR PUSTAKA
o G.kartasapoetra, E.Komaruddin, Rience G. Kartasapoetra. Pajak Bumi dan Bangunan. Penerbit Bina Aksara Jakarta, cetakan pertama; 1989
o Eko Suwardi, Perpajajakan, Penerbit Widya Sarana Informatika, edisi pertama ; 1999
o M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah. PT.Raja Grafindo Persada Jakarta, cetakan ke-4 ; 2003QS. At-Taubah: 103
o http://jufrism.wordpress.com//permasalahan-zakat-di-indonesia
o http://www.upzmalaysia.org//memperkuat peran zakat dalam pembangunan nasional & Penerimaan dan penyaluran Badan Amil Zakat
o http://www.baznas.or.id //Pembangunan ekonomi umat berbasis zakat
o http://www.bps.org//Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi edisi 5 Oktober 2010_Kemiskinan Maret 2010
o http://erwinfs.multiply.com// Kebijakan Fiskal 100 Hari Pertama
o Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat sebagai etika pajak dan belanja Negara untuk rakyat, PT. Mizan Pustaka, cetakan 1; 2010
o http://jurnal-ekonomi.org/2004/01/11/reinterpretasi-alokasi-zakat-mengkaji-ulang-mekanisme-distribusi-zakat-dalam-masyarakat-modern
o http://organisasi.org/rumus-cara-menghitung-zakat-maal-harta-fitrah-profesi-serta-nisab-dalam-agama-islam.
o http://majalah.tempointeraktif.com// Zakat Dibayar, Pajak pun Berkurang
o http://diantn.blogspot.com/2009/01/perbedaan-matematis-pajak-dan-zakat.html
Unsur-Unsur Hukum Syara'
“Unsur-Unsur Hukum Syara’’
A. Pengertian Hukum Syara’
Hukum Syara’ adalah hukum yang erat hubungannya atau bertalian dengan perbuatan orang mukallaf, yang terdiri dari tuntutan (thalib – (طلبpembolehan (takhaiyir – تحيير) dan penentuan sesuatu terhadap yang lain (wadha’ – (وضع.
B. Unsur-unsur Hukum Syara’
1. Al-Hakim
Al-Hakim yaitu Yang menetapkan hukum atau menetapkan baik buruknya perbuatan, ialah Allah . Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul Fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Allah SWT adalah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, Ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqh menetapkan kaidah:
“لاحكم الا لله”
Artinysa: “Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”
Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama’ ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT. yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’
Diantara alasan para ulama’ ushul fiqih untuk mendukung pernyataan diatas, adalah sebagai berikut:
1. Surat Al-An’am : 57
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.”
2. Surat Al-Maidah : 49
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,…”
3. Surat Al-Maidah : 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Atinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir.”
4. Di akhir ayat 45 surat Al-Maidah, Allah berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.”
5. Keharusan untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah apabila terjadi perbedaan pendapat.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Artinya: “Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (Qs. An-Nisa’ : 59)
6. Keharusan untuk menggunakan hukum Allah SWT. dalam surat An-Nisa’ : 65, Allah berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim diatas, ulama Ushul Fiqh membedakannya sebagai berikut: (Asy-Syaukani: 7) .
a. Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Para ulama ushul fiqih berbeda-beda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa pada sa’at itu tidak ada hakim dan hukum syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada sa’at Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT, dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.
b. Setelah diangkatnya Muhammad sebagai Rasul dan menyebarnya dakwah Islam.
Para ulama’ fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang diharamkannya hukumnya haram .
2. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)
1. Pengertian Mahkum Alaih
Para ulama’ ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (Subjek Hukum). Orang Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangannya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat dosa .
Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian:
1. Harus sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya. Tidak semua orang mukallaf yang dapat memahami bahasa Arab. Agar takhlif dibebani secara merata, diwajibkan kepada kita menerjemahkan Al-Qur’an dan Sunah Nabi, yang menjadi sumber takhlif kedalam bermacam-macam bahasa yang dapat dipahami mereka. Dalil kewajiban itu berdasarkan:
ان يبلغ الشاهد منكم الغائب
Artinya: “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir diantara kamu.”
Dalam masalah ini termasuk kepada orang yang Ghaib adalah orang yang tidak mengetahui bahasa Arab (Al-Qur’an) dan Hadis atau tidak sanggup memahami dalil-dalil hukum syara’ yang dibebankan kepada orang takhlif.
2. Ahli dan patut ditakhlifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah orang yang pantas atau patut dibebani dengan takhlif. Ahli yang dimaksud terdiri atas dua bagian, antara lain:
a. Ahliyatul Wujub adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban.
Jadi, ahliyatul wujub itu adalah keputusan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu, sesama manusia, laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya adalah ahliyatul wajib.
b. Ahliyatul Ada-a adalah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’, dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur darinya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyatul ada-a ialah tamyiz. Oleh karena itu, manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada-a hanyalah manusia yang mumayyiz saja .
3. Mahkum Fih / Mahkum Bih
1. Pengertian Mahkum Fih / Mahkum Bih
Menurut ulama’ Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memiih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah, serta batal.
Para ulama’pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Misalnya:
a. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاة
Artinya: “Dirikanlah Shalat….”
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
b. Firman Allah SWT, dalam surat Al-An’am : 151
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu sebab yang benar…”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
Dengan contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqh menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan. “kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama’ ushul. Diantara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hukum wajib ataupun sunah, maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bila terlaksana dengan adanya perbuatan. Begitu pula hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut .
2. Syarat-syarat Mahkum Bih
Para ulama’ ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang Mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelum dia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam Al-Qur’an, perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat: “Dirikanlah shalat!” Perintah shalat dalam Al-Qur’an ternyata masih global, maka Rasulullah SAW menjelaskannya sekaligus memberikan contoh, sebagaimana sabdanya, “Shalatlah sebagaimana aku shalat”. Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebagainya.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT. Sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan titah Allah semata. Sebenarnya, hal itu sama dengan hukum yang berlaku dalam hukum positif, yakni tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara lain, untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaannya sesuai tuntutan syara’. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang di tuntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan. Ketika seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya, dan diperkirakan mampu mengetahui hukum syara’ baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama, maka sudah bisa dinyatakan bahwa mengetahui dan menanggung beban syari’at.
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain:
Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama’, baik berdasarkan zatnya atau kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya.
Kedua, para ulama ushul fiqh menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan Bapaknya. Dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah menasehati dan amar ma’ruf nahyi munkar.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya karena hal itu berada diluar kendali manusia.
Keempat, tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam masalah ibadah dan bersuci untuk shalat .
DAFTAR PUSTAKA
Chaerul, Umam dkk. , Ushul Fiqih 1, CV.Pustaka Setia, Bandung: 1998
Juhaya,S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung: 2007
Hanafie, Ushul Fiqh, Wijaya, Jakarta: 1963
A. Pengertian Hukum Syara’
Hukum Syara’ adalah hukum yang erat hubungannya atau bertalian dengan perbuatan orang mukallaf, yang terdiri dari tuntutan (thalib – (طلبpembolehan (takhaiyir – تحيير) dan penentuan sesuatu terhadap yang lain (wadha’ – (وضع.
B. Unsur-unsur Hukum Syara’
1. Al-Hakim
Al-Hakim yaitu Yang menetapkan hukum atau menetapkan baik buruknya perbuatan, ialah Allah . Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul Fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Allah SWT adalah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, Ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqh menetapkan kaidah:
“لاحكم الا لله”
Artinysa: “Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”
Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama’ ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT. yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’
Diantara alasan para ulama’ ushul fiqih untuk mendukung pernyataan diatas, adalah sebagai berikut:
1. Surat Al-An’am : 57
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.”
2. Surat Al-Maidah : 49
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,…”
3. Surat Al-Maidah : 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Atinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir.”
4. Di akhir ayat 45 surat Al-Maidah, Allah berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.”
5. Keharusan untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah apabila terjadi perbedaan pendapat.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Artinya: “Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (Qs. An-Nisa’ : 59)
6. Keharusan untuk menggunakan hukum Allah SWT. dalam surat An-Nisa’ : 65, Allah berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim diatas, ulama Ushul Fiqh membedakannya sebagai berikut: (Asy-Syaukani: 7) .
a. Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Para ulama ushul fiqih berbeda-beda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa pada sa’at itu tidak ada hakim dan hukum syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada sa’at Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT, dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.
b. Setelah diangkatnya Muhammad sebagai Rasul dan menyebarnya dakwah Islam.
Para ulama’ fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang diharamkannya hukumnya haram .
2. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)
1. Pengertian Mahkum Alaih
Para ulama’ ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (Subjek Hukum). Orang Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangannya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat dosa .
Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian:
1. Harus sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya. Tidak semua orang mukallaf yang dapat memahami bahasa Arab. Agar takhlif dibebani secara merata, diwajibkan kepada kita menerjemahkan Al-Qur’an dan Sunah Nabi, yang menjadi sumber takhlif kedalam bermacam-macam bahasa yang dapat dipahami mereka. Dalil kewajiban itu berdasarkan:
ان يبلغ الشاهد منكم الغائب
Artinya: “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir diantara kamu.”
Dalam masalah ini termasuk kepada orang yang Ghaib adalah orang yang tidak mengetahui bahasa Arab (Al-Qur’an) dan Hadis atau tidak sanggup memahami dalil-dalil hukum syara’ yang dibebankan kepada orang takhlif.
2. Ahli dan patut ditakhlifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah orang yang pantas atau patut dibebani dengan takhlif. Ahli yang dimaksud terdiri atas dua bagian, antara lain:
a. Ahliyatul Wujub adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban.
Jadi, ahliyatul wujub itu adalah keputusan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu, sesama manusia, laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya adalah ahliyatul wajib.
b. Ahliyatul Ada-a adalah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’, dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur darinya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyatul ada-a ialah tamyiz. Oleh karena itu, manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada-a hanyalah manusia yang mumayyiz saja .
3. Mahkum Fih / Mahkum Bih
1. Pengertian Mahkum Fih / Mahkum Bih
Menurut ulama’ Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memiih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah, serta batal.
Para ulama’pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Misalnya:
a. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاة
Artinya: “Dirikanlah Shalat….”
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
b. Firman Allah SWT, dalam surat Al-An’am : 151
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu sebab yang benar…”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
Dengan contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqh menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan. “kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama’ ushul. Diantara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hukum wajib ataupun sunah, maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bila terlaksana dengan adanya perbuatan. Begitu pula hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut .
2. Syarat-syarat Mahkum Bih
Para ulama’ ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang Mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelum dia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam Al-Qur’an, perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat: “Dirikanlah shalat!” Perintah shalat dalam Al-Qur’an ternyata masih global, maka Rasulullah SAW menjelaskannya sekaligus memberikan contoh, sebagaimana sabdanya, “Shalatlah sebagaimana aku shalat”. Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebagainya.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT. Sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan titah Allah semata. Sebenarnya, hal itu sama dengan hukum yang berlaku dalam hukum positif, yakni tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara lain, untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaannya sesuai tuntutan syara’. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang di tuntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan. Ketika seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya, dan diperkirakan mampu mengetahui hukum syara’ baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama, maka sudah bisa dinyatakan bahwa mengetahui dan menanggung beban syari’at.
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain:
Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama’, baik berdasarkan zatnya atau kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya.
Kedua, para ulama ushul fiqh menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan Bapaknya. Dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah menasehati dan amar ma’ruf nahyi munkar.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya karena hal itu berada diluar kendali manusia.
Keempat, tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam masalah ibadah dan bersuci untuk shalat .
DAFTAR PUSTAKA
Chaerul, Umam dkk. , Ushul Fiqih 1, CV.Pustaka Setia, Bandung: 1998
Juhaya,S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung: 2007
Hanafie, Ushul Fiqh, Wijaya, Jakarta: 1963
Langganan:
Postingan (Atom)