Jumat, 29 Oktober 2010

Unsur-Unsur Hukum Syara'

“Unsur-Unsur Hukum Syara’’
A. Pengertian Hukum Syara’
Hukum Syara’ adalah hukum yang erat hubungannya atau bertalian dengan perbuatan orang mukallaf, yang terdiri dari tuntutan (thalib – (طلبpembolehan (takhaiyir – تحيير) dan penentuan sesuatu terhadap yang lain (wadha’ – (وضع.
B. Unsur-unsur Hukum Syara’
1. Al-Hakim
Al-Hakim yaitu Yang menetapkan hukum atau menetapkan baik buruknya perbuatan, ialah Allah . Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul Fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Allah SWT adalah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, Ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqh menetapkan kaidah:
“لاحكم الا لله”
Artinysa: “Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”
Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama’ ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT. yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’
Diantara alasan para ulama’ ushul fiqih untuk mendukung pernyataan diatas, adalah sebagai berikut:
1. Surat Al-An’am : 57
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.”
2. Surat Al-Maidah : 49
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,…”
3. Surat Al-Maidah : 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Atinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir.”
4. Di akhir ayat 45 surat Al-Maidah, Allah berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.”
5. Keharusan untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah apabila terjadi perbedaan pendapat.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Artinya: “Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (Qs. An-Nisa’ : 59)
6. Keharusan untuk menggunakan hukum Allah SWT. dalam surat An-Nisa’ : 65, Allah berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim diatas, ulama Ushul Fiqh membedakannya sebagai berikut: (Asy-Syaukani: 7) .
a. Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Para ulama ushul fiqih berbeda-beda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa pada sa’at itu tidak ada hakim dan hukum syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada sa’at Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT, dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.
b. Setelah diangkatnya Muhammad sebagai Rasul dan menyebarnya dakwah Islam.
Para ulama’ fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang diharamkannya hukumnya haram .

2. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)
1. Pengertian Mahkum Alaih
Para ulama’ ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (Subjek Hukum). Orang Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangannya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat dosa .
Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian:
1. Harus sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya. Tidak semua orang mukallaf yang dapat memahami bahasa Arab. Agar takhlif dibebani secara merata, diwajibkan kepada kita menerjemahkan Al-Qur’an dan Sunah Nabi, yang menjadi sumber takhlif kedalam bermacam-macam bahasa yang dapat dipahami mereka. Dalil kewajiban itu berdasarkan:
ان يبلغ الشاهد منكم الغائب
Artinya: “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir diantara kamu.”
Dalam masalah ini termasuk kepada orang yang Ghaib adalah orang yang tidak mengetahui bahasa Arab (Al-Qur’an) dan Hadis atau tidak sanggup memahami dalil-dalil hukum syara’ yang dibebankan kepada orang takhlif.
2. Ahli dan patut ditakhlifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah orang yang pantas atau patut dibebani dengan takhlif. Ahli yang dimaksud terdiri atas dua bagian, antara lain:
a. Ahliyatul Wujub adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban.
Jadi, ahliyatul wujub itu adalah keputusan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu, sesama manusia, laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya adalah ahliyatul wajib.
b. Ahliyatul Ada-a adalah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’, dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur darinya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyatul ada-a ialah tamyiz. Oleh karena itu, manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada-a hanyalah manusia yang mumayyiz saja .

3. Mahkum Fih / Mahkum Bih
1. Pengertian Mahkum Fih / Mahkum Bih
Menurut ulama’ Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memiih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah, serta batal.
Para ulama’pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Misalnya:
a. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاة
Artinya: “Dirikanlah Shalat….”
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
b. Firman Allah SWT, dalam surat Al-An’am : 151
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu sebab yang benar…”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
Dengan contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqh menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan. “kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama’ ushul. Diantara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hukum wajib ataupun sunah, maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bila terlaksana dengan adanya perbuatan. Begitu pula hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut .

2. Syarat-syarat Mahkum Bih
Para ulama’ ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang Mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelum dia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam Al-Qur’an, perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat: “Dirikanlah shalat!” Perintah shalat dalam Al-Qur’an ternyata masih global, maka Rasulullah SAW menjelaskannya sekaligus memberikan contoh, sebagaimana sabdanya, “Shalatlah sebagaimana aku shalat”. Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebagainya.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT. Sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan titah Allah semata. Sebenarnya, hal itu sama dengan hukum yang berlaku dalam hukum positif, yakni tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara lain, untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaannya sesuai tuntutan syara’. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang di tuntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan. Ketika seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya, dan diperkirakan mampu mengetahui hukum syara’ baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama, maka sudah bisa dinyatakan bahwa mengetahui dan menanggung beban syari’at.
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain:
Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama’, baik berdasarkan zatnya atau kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya.
Kedua, para ulama ushul fiqh menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan Bapaknya. Dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah menasehati dan amar ma’ruf nahyi munkar.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya karena hal itu berada diluar kendali manusia.
Keempat, tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam masalah ibadah dan bersuci untuk shalat .


DAFTAR PUSTAKA

Chaerul, Umam dkk. , Ushul Fiqih 1, CV.Pustaka Setia, Bandung: 1998
Juhaya,S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung: 2007
Hanafie, Ushul Fiqh, Wijaya, Jakarta: 1963

Tidak ada komentar:

Posting Komentar